Diversifikasi wacana pendidikan sebuah eksotopi, sekaligus kesediaan terbuka mengakui berbagai kontradiksi, konsepsi, kebijakan, program, perangkat dan realitas pendidikan yang tentu tidak dapat berdiri sendiri. No one day is purely one thing, juga dengan pendidikan NTB yang tentu saja dibangun oleh suatu gugus faktoral yang interconnected. Melihat, menggagas dan menggugatnya adalah ruang bersama yang selalu menjadi pilihan meretas kelanjutaan kreativitas yang membangun. Dalam kontek inilah stigma-stigma yang membangun pandangan tentang identitas ke-NTB-an yang masih saja sektarian, moral double-bookkeeping dan pendidikan dalam arti yang universal harus dapat diletakkan dalam proporsi yang tidak simetris. Senantiasa terbiasa digugat bila mungkin dibatalkan, senada dengan Kristeva (1989) identitas-identitas kita dalam hidup tak putus-putusnya dipersoalkan, digugat dan dibatalkan.
Cara pandang ini memberikan kemungkinan paling intens berbagai lontaran pikiran, ketidakpuasan, ketidakpercayaan, kekesalan, ketakutan yang dialamatkan pada sistem maupun praktik pendidikan khususnya NTB diberikan makna dan tempat. Tidak lagi dipandang sebagai suatu yang subyektif, margins dan tidak ber-nash. Ini berpijak pada kenyataan bahwa lokus yang margins merupakan tempat dimana ketidakstabilan, kemenduaan justru bersifat menyeluruh, menjadi lazim. Fenomena ini tidak saja muncul dipermukaan bahkan mempengaruhi sistem kesadaran dan ketidaksadaran, mengambil bentuk multifaces.
Realitas ini tentu saja tidak dapat dijangkau oleh angka-angka statistikal yang menjelaskan posisi pendidikan di NTB, karena angka-angka lebih bisa berbicara dalam porsi wacana yang sederhana, sementara persoalan manusia dan pendidikan adalah lokus yang kompleks dan dalam. Setiap upaya memberi pertanda dengan ‘angka-angka’ penelitian dan parameter adalah upaya sistematis menjauhkannya dari hakekat perseptual dan konseptual. Pendidikan harus didekati secara manusiawi. Setiap upaya mendekati melalui piranti angka-angka penelitian harus dapat dimaknai sebagai itikad awal mendekatinya lebih mendalam dan sungguh-sungguh. Tidak berhenti pada angka penelitian dan menjadikannya sebagai sesuatu yang pasti apalagi mereduksinya menjadi gugusan kebutuhan yang harus dijabarkan dalam kebijakan maupun program pendidikan lalu memandangnya sebagai yang esensial untuk diperjuangkan. Memang pendidikan adalah kebutuhan esensial, mendasar, perenial dan mutlak tetapi perkiraan-perkiraan dan pengukuran-pengukuran yang dilakukan melalui berbagai pendekatan tidak dapat diperlakukan sama, tetapi senantiasa harus dipandang instrumental yang sifatnya bongkar pasang, harus bersedia diganggugugat dan dibatalkan.
Apa yang dikandung mind mapping tulisan ini dapat dipandang menjadi ihwal yang membuka ‘mengapa’ diskursus USBN dari berbagai tingkat satuan pendidikan yang baru selesai dilaksanakan menuai protes, ketidakpuasan, gugatan yang berlaku menyeluruh (nasional). Perguruan tinggi yang ditunjuk terlibat dalam prosesnya juga tidak kalah sinis menuding adanya ketidakberesan dalam proses dan hasil. Hal yang patut ditekankan dari perguliran kontropersi tersebut adalah adanya keinginan pihak perguruan tinggi supaya pemerintah menyerahkan pelaksanaannya pada pihak yang independent. Perkara ini tentu tidak sederhana dan hanya dipandang sebagi ketidakpuasan terhadap ‘angka-angka’ sebagai output hasil tetapi lebih dari kompleks faktoral yang tidak ‘dijenguk’ ketika memandang proses pendidikan dalam arti sesungguhnya.
Kontropersi tentang hasil pendidikan—khususnya NTB—hari ini tentu tidak akan mencuat dan di-blowup habis-habisan media manakala ada konsistensi pada mindset dan praktik pendidikan yang tentu saja harus dibangun oleh adanya nilai-nilai bersama yang transendent; diikuti sistem kebijakan, program maupun perangkat yang dibangun dengan konsensus dan komitmen bersama. Tetapi bila mana pendidikan dibangun oleh landasan subordinasi dan hegemoni kepentingan akan rentan menimbulkan masalah meskipun di-backup sistem episteme dan penelitian yang canggih sekalipun. Hal ini didasarkan pada logika kepentingan yang tidak berlangsung abadi sedangkan proses dan praktik pendidikan bersifat immutable.
Cara pandang seperti ini tentu saja tidak menyangkut hasil pendidikan tetapi juga seluruh proses pembangunan pendidikan yang terlanjur dibangun oleh asumsi-asumsi angka, kurang peka dengan karakteristik lokalitas NTB. Sehingga apapun yang di-claim sebagai bentuk kemajuan pendidikan selalu saja membuka pertanyaan-pertanyaan yang kompleks dan membingungkan, karena seringkali tidak memberi tempat bagi sekian banyak gugatan, protes, kritikan, kekecewaan dari lapis terbawah operator pendidikan itu sendiri. Contoh sederhana dan aktual keprihatinan para guru yang tidak berdaya berhadapan dengan sistem dan birokrasi pendidikan yang memaksa mereka bermain curang dalam proses UN/USBN menjamin angka kelulusan tinggi. Mereka dipaksa membocorkan jawaban kepada siswa dengan berbagai trik muslihat mengangkangi hati nurani sebagai pendidik sekaligus merusak pendidikaan itu sendiri. Alasan klise selalu muncul, ’ini sudah lazim dan tidak berdosa’. ‘Suara-suara mereka’ semakin lama semakin sayup dan kelaziman-kelaziman yang reduktif pun semakin mendapat tempat. Dalam kontek ini hasil UN/USBN tidak dapat dijadikan parameter capaian mutu pendidikan, kecuali menjadi benggala ketidakjujuran, ketidakseriusan mengelola pendidikan. Lebih menegaskan hegemoni kepentingan politik, sistem dan birokrasi pendidikan kita.
Sementara para pengelola pendidikan swasta seperti menjadi sapi perahan dalam proses pembangunan pendidikan yang mengatasnamakan peningkatan mutu seperti keharusan ‘menyetor sejumlah fee’ kepada pihak-pihak tertentu sebagai syarat untuk mendapatkan bantuan, membelanjakan keuangan bantuan yang diterima pada pos yang tidak dibutuhkan. Termasuk perubahan peran kepala sekolah yang lebih banyak waktunya ke bank daripada mengurus sekolah dan kecenderungan para guru yang berbisnis buku-buku pelajaran, LKS dengan alasan peningkatan mutu sedangkan pada tingkat pendidikan dasar sudah terakomodir melalui BOS Buku. Iniah yang menjauhkan masyarakat pendidikan dari praktik pendidikan yang sebenarnya seiring semakin megah dan lengkapnya infrastruktur pendidikan dipenuhi oleh peningkatan penganggaran APBD dan APBN pendidikan.
Bila realitas ini tidak mendapat perhatian dan penyelesaian, pendidikan khususnya di NTB akan mengalami apathy fungsi, baik teologis, teleologis dan praktis sesuai dengan cita bersama yang telah dirumuskan pada tingkat nasional, regional maupun lokal. Pendidikan akan lebih kentara menjadi akomodasi fungsi pembelanjaan komsumtif yang berseberangan dengan kebutuhan pendidikan masyarakat. Maka dapat dipastikan politik, sistem dan birokrasi pendidikan akan sustain menjadi penerjemah kemauan pendidikan publik yang otoriter dan khianat. Sebagai langkah alternatif mengantisipasi fenomena ini beberapa rekomendasi berikut penting untuk dipertimbangkan :
· Penelitian menyeluruh dan mendalam segenap aspek pendidikan dengan menggunakan multi pendekatan dengan melibatkan segenap kalangan terkait. Hasil-hasil penelitian selanjutnya dibahas/dikaji melalui berbagai forum untuk mencapai pengakuan dan kesahihan. Prosesnya terbuka, melibatkan pihak dan lembaga-lembaga yang independen. Melalui proses ini juga disusun NAA pendidikan yang kembali dikomunikasikan kepada masyarakat sebagai blue print dan pernyataan kebutuhan pendidikan baik yang sifatnya jasa, parameter mutu maupun infrastruktur. Hal ini dimaksudkan sebagai penyusunan peta kebutuhan pendidikan masyarakat yang mendekati kenyataan ketimbang perkiraan-perkiraan kwantitatif yang seringkali tidak melibatkan subyektivitas masyarakat. Di dalamnya termasuk standarisasi sarana prasarana pendidikan pada semua tingkat dan satuan.
· Tercapainya bentuk dan kebutuhan pendidikan masyarakat dalam bentuk NAA pendidikan dan standarisasi sarana prasarana pendidikan membutuhkan adanya konsensus dan komitmen pendidikan tidak terbatas pada pernyataan tetapi terwujud dalam aksi bersama. Hal ini berkaitan dengan jalinan kordinasi dan sinkronisasi menyeluruh, karena masyarakat NTB tidak hanya membutuhkan pendidikan tetapi juga bidang-bidang lain yang tidak kalah pentingnya. Kordinasi dan sinkronisasi terjalin mulai dari level atas sampai akar rumput.
· Pembenahan moralitas kerja dan kompetensi pendidik yang bersifat menyeluruh, tidak hanya mengenai peningkatan kesejahteraan yang selalu menjadi alasan klise ihwal menurunnya mutu pendidikan baik pada proses maupun hasil. Padahal persoalan yang sesungguhnya ada pada moralitas kerja dan kemampuan nyata. Ini berkaitan dengan kecenderungan yang berlaku menyeluruh para guru mengajar lebih banyak berdasarkan pada paradigma ’bagaimana enaknya’ bukan paradigma ’bagaimana baiknya’ yang menuntut mereka memiliki moralitas kerja yang dinamis, kreatif mengasah dan meningkatkan kemampuan setiap saat dan setiap ada kesempatan. Program sertifikasi guru yang tengah berlangsung saat ini bukanlah satu-satunya alternatif mengatasinya tetapi menuntut dikaji ulang secara seksama karena sarat dengaan berbagai persoalan di dalamnya yang sebenarnya justru merugikan pendidikan.
· Melibatkan peran perguruan tinggi secara lebih menyeluruh dalam proses pembenahan pendidikan untuk mengurangi disparitas antara perguruan tinggi dengan sekolah yang menjadi sumber intake pendidikannya. Beberapa kultur pendidikan perguruan tinggi terutama dalam proses penentuan birokrasinya yang demokratis penting ditularkan kepada sekolah untuk mengurangi kecenderungan KKN berjamaah kepala sekolah dengan pihak di atasnya. Karena dalam hal ini kepala sekolah dihadapkan pada ketaatan mendua, tidak total pada pendidikan di sekolah. Karena bagaimanapun yang mengangkatnya adalah dinas bukan shareholders dan representasi stakeholders sekolah.
· Memaksimalkan peran orang tua dan masyarakat dalam pelibatan mereka dalam pelaksanaan pendidikan. Anak akan mendapatkan basic education dari lingkungan keluarga yang selanjutnya diteruskan ke lembaga formal dan akhirnya akan kembali ke masyarakat. Siklus ini harus dapat dipertahankan dalam bentuk kerjasama yang nyata, jelas, kreatif dan efektif.
· Dan yang terpenting adalah bagaimana mewujudkan seluruh proses stimulasi terhadap pelaksanaan pendidikan yang telah dicita-citakan dapat dipandang sebagai ’amal’ yang transendent. Kondisi ini bila dapat diaktualkan akan dapat memobilisasi seluruh program pendidikan yang telah disepakati bersama berjalan baik. Ideologisasi pendidikan seperti ini harus berlangsung sebagai bagian yang immanent dengan kelindan sistem dan birokrasi pendidikan dan dipandang sebagai amal jamaah yang bernilai jariyah.
Penulis
ABU HABIB WAHANNA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon Tinggalkan Komentar