(Oleh : Hablul Warid)*
* Direktur The Foundation for Centere Studies of Islam and Education (P.KIP) dan Sentra Inkubasi Transformasi dan Advokasi Masyarakat (SIRAM)
Pemetaan ruang merupakan ihtiar pemeranan pemuda dalam arus perubahan dan dinamika politik yang penting dicermati untuk menghindari inefisiensi quasi, energi dan konsentrasi yang berlebihan. Pada sisi yang berbeda pemetaan menyangkut diversifikasi dan pilihan yang dinamis ketika berhadapan dengan akumulasi perkembangan yang kompleks untuk menentukan wilayah being. Discourse pemetaan pemeranan politik pemuda dalam mencermati dinamika perpolitikan NTB yang dikaitkan dengan figur Tuan Guru (TG) bukanlah berarti penciptaan ruang batas dan seteru, tetapi dalam kerangka mewujudkan the virtues of politics.
Sehubungan dengan kontek pembicaraan ini berikut dipaparkan dua kerangka kaji; Tuan Guru dalam Dinamika Politik NTB dan Menggagas Ruang Politik Pemuda.
A. Tuan Guru dalam Dinamika Politik NTB
Aktivitas hidup secara ekstrim tidak akan dapat dilepas begitu saja dengan politik. Apalagi dikaji secara ad-hoc. Phenomena politik inherent dengan prikehidupan individu secara menyeluruh bahkan dalam banyak kasus bersifat mendalam dan pilihan. Karenanya dalam tulisan ini politik, tuan guru tidak dibatasi pada mind politik praktis yang bersifat formal tetapi menyangkut kepentingan eksistensial yang dapat bersifat dinamis, simbolis dan discourses yang kerap mengundang kritik.
Dinamis menunjuk pada kecenderungan perubahan yang bisa berarti positif dan negative tergantung pencerminan keberpolitikan yang tidak menjurus pada timbulnya intrusi dan deviasi. Dua hal ini akan menkonstruksi perluasan atau penyempitan wilayah otoritas dan ortopraksi.
Simbolis menunjuk pada kenyataan ruang, waktu dan momentum dibutuhkannya sosok tuan guru (TG) dalam perhelatan politik yang lebih karena daya mobilisasi yang mungkin dimiliki oleh seorang TG dari kapabilitas yang seharusnya. Dua komponen tersebut saat ini menjadi argumentasi yang banyak dipertimbangkan dalam menelisik kecenderungan politik mereka yang lebih banyak menjadi alat dan subordinate dari arus yang lebih besar yang justru akan merugikan, baik dalam perhitungan strategis maupun ideologis.
Saat ini artikulasi politis simbolisme dan wilayah being TG dalam wacana aktual mengandung kompleks masalah. Dinamisme perubahan yang cepat, dalam dan menyeluruh cenderung menjebak dan memproyeksikan kesadaran spasial masyarakat yang kurang begitu akrab. Sementara polaritas dialog yang diproduksi oleh proses dan hasil formalisme pendidikan disertai serangan bertubi-tubi informasi yang mengedepankan realita perilaku politik termasuk di dalamnya tokoh politik dari TG semakin ‘berani’ menggugat citra otoritas politik dan keberagamaan mereka. Ortopraksi, interpretasi berwibawa, garis keturunan dan pengabdian (Steenbrink, 1994) sebagai faktor yang membentuk relasi kuasa dan eksistensi TG semakin permeable bagi aktivitas kritik yang terbuka dan dipandang sebagai ‘sesuatu’ yang berjarak dengan primordialisme wilayah being TG sesungguhnya.
Di lain pihak, TG sebagai lokus mengalami ancaman ‘eksistensial’ dengan meluasnya fenomena objektivikasi dalam kesadaran masyarakat Muslim yang lintas kelas (transclasses) dalam memandang Islam—politik dan TG dengan kompleks perilaku. Objektivikasi dalam kesadaran ini akan membentuk polaritas keberagamaan yang self-contained, di mana seseorang tidak menjadi terlalu bergantung pada tokoh TG dalam menderivasi dan mengaktualkan keberagamaannya (Eickelman dan Piscatori, 1998). Setidaknya ada tiga bentuk objektivikasi yang mengandung dilemma; Pertama, diskursus dan perdebatan mengenai Islam—politik—TG skalanya makin luas dan besar. Hal ini akan mendorong munculnya kesadaran tentang [ide-ide] yang baru dan tidak konvensional yang dapat berujung pada intrusi kepercayaan pada tokoh TG; sekaligus mendorong terjadinya transformasi keyakinan agama yang melebarkan ruang otoritas agama, menggarisulang batas-batas komunitas politik dan mempersempit wilayah kuasa dan relasi politik TG.
Bentuk kedua dan ketiga dari objektivikasi tersebut adalah diskursus agama yang otoritatif yang dulunya menjadi monopoli TG sedang tergantikan oleh adanya akses langsung dan lebih luas dengan aktivitas penerbitan, penerjemahan, computer dan internet. Akses langsung dan lebih luas akan berimplikasi pada rekonstruksi proses penciptaan symbol dalam politik. Akibatnya TG akan memasuki persaingan sengit dengan politisi-politisi lain yang lebih kuat yang berasal dari berbagai unsur untuk mewakili aspirasi masyarakat Islam. Sedang dalam otoritas keilmuan akan bersaing dengan kelompok-kelompok akademisi maupun pengkaji-pengkaji bebas keagamaan yang plural.
Khusus dalam kontek masyarakat NTB, figur TG adalah referensi tindakan dan ilmu. Hal ini sangat dimungkinkan oleh faktor ortopraksi, garis keturunan, pengabdian dan kedalaman kemampuan mereka menguasai teks-teks keagamaan yang terkodifikasi dalam epistemology kitab kuning. Faktor-faktor yang membentuk kemengadaan mereka tersebut saat ini sedang menghadapi ujian/tantangan yang kuat oleh kelimpahan akses referensial keagamaan yang tersebar luas dalam berbagai media cetak dan elektronik yang dalam banyak hal menjadi serba mungkin. Sementara fenomena objektivikasi kesadaran yang telah menjadi gejala yang umum dan lazim telah berimplikasi pada kesadaran reinterpretasi praktik, relasi dan aksi politik yang tidak lagi bersifat incidental, membuta dan menurut tetapi cenderung berubah menjadi lebih rasional, multy-interested bahkan pragmatis.
Perspektif konstruksional yang diperlihatkan di atas tentu akan mengungkap daya tarik yang tidak berbatas pada perdebatan tetapi juga kemungkinan pada pemetaan batas wilayah politik, pengaruh dan reposisi TG dalam dinamisme politik praktis. Bila dalam momentum historis dan herois institusi TG telah menempati piramida teratas. Dan sebagai pribadi melampaui sukses mengaktualkan kesadaran akan keswadayaan, opposisional, moralitas, kesalehan dan keikhlasan yang menjadi pondasi teologik sistem kharisma yang berekspansi pada batas-batas yang interkonektif. Maka saat ini, masihkah hal-hal itu dapat menjadi jaminan penting dan strategis yang dapat memelihara otoritas politik mereka dihadapan publik. Menjawab pertanyaan tersebut tentu tidak sederhana, tetapi sangat kompleks karena menyangkut proyeksi actual dan kritisisme yang dilematik. Dua hal ini membutuhkan pertimbangan kehati-hatian dan kesiapan berdialog secara sabar, dewasa dan terbuka. Bagaimanapun , kritik yang beralamat pada institusi TG adalah juga kritik pada ‘kewibawaan-suci’, sistem proselitisisme dan massa pendukungnya langsung.
Proyeksi aktual yang lebih bersahaja menghadapkan eksistensi TG dan pola publisitas kesadaran pendukung pada keharusan merekonstruksi posisi, fungsi, orientasi dan batas wilayah kuasanya. Ini didasarkan pada beberapa rasionalisasi, antara lain kesadaran akan objektivikasi dalam kesadaran yang meluas disertai akses referensial yang melimpah mengenai teks-teks keagamaan dan realitas perilaku politik TG yang tidak begitu berbeda secara signifikan dengan para politisi lainnya, akan membawa serta pengaruh intrusive; di mana TG sebagai figur publik akan mengalami penciutan eksistensial dan kewibawaan. TG tidak lagi sebagai single fighter yang melakukan fumgsi-fungsi pemberdayaan, keilmuan dan opposisional, karena peran ini sekarang menjadi lahan subur para pengembang sosial (LSM) dan kelompok-kelompok pengkaji keagamaan yang tumbuh menjamur. Bahkan menjadi hal yang aneh bila TG terlibat langsung dalam proses-proses pembelaan dan advokasi misalnya dalam masalah-masalah tanah, perburuhan, penolakan judicial dan sebagainya. Demikian pula sebagai sumber ilmu. Dengan maraknya aktivitas penerbitan, penerjemahan, media computer, televisi dan internet telah menyebabkan masyarakat umum memperoleh layanan dan akses langsung terhadap makin banyak buku keislaman dan kitab kuning tampa melalui para TG atau harus belajar ke pesantren.
Belajar dari kasus India pada abad ke-19 di mana penggandaan teks-teks cetakan (referensi keislaman) yang pada awalnya dikontrol otoritas ulama’ telah mengena tepat ke jantung penyebaran pengetahuan orang perorang, justru menjadi serangan telak ke jantung otoritasnya sendiri. Pada awalnya barang cetakan itu memungkinkan mereka meluaskan pengaruh dalam urusan-urusan umum karena merekalah yang mensponsori dan mengontrol publikasi keagamaan. Ironisnya, terbukanya akses telah mereduksi otoritas mereka sendiri.
Apa yang terjadi di India barangkali tampa kita sadari sedang terjadi dalam lingkungan kesadaran dan publisitas keseharian kita di NTB. Terlebih dengan meningkatnya fenomena santrinization (Azra, 1999) dan intensitas diskursus keagamaan yang makin meluas, dalam dan menyeluruh yang mulai mengharu biru sejak perguruan tinggi-perguruan tinggi, menyentuh lingkungan pelajar dan masyarakat dengan berbagai pola mulai dari training, daurah, liqa’ hingga majelis ta’lim. Di lain pihak sedang berlangsung suatu proses produksi kesadaran akan tradisi baru yang menegaskan [adanya] otoritas terhadap orang-orang yang berilmu misalnya ekonom, teknisi yang ‘terislamkan’ juga menjadi TG pada middle-class masyarakat kita.
Dalam konstelasi yang dinamis dan sedang terjadi ini, apakah eksistensi dan kewibawaan TG khususnya dalam perhitungan politik praktis akan mengalami ‘kepunahan’. Tentu saja tidak akan hilang begitu saja, mungkin hanya berkurang. Hal ini tentu sangat berkaitan dengan disparitas sosial dalam mengakses informasi dan kesadaran baru karena faktor pendidikan, penguasaan teknologi yang terbatas atau karena alasan-alasan yang bersifat geografis, sosiologis dan tehnis. Tetapi hal ini bersifat sementara, karena mau tidak mau dinamika yang terjadi akan menjadi ancaman serius bagi institusi TG selama TG sendiri tidak mengambil pelajaran dan merefleksikan kembali keberadaan, posisi, peran, perilaku dan pilihannya dari perubahan dan perkembangan yang terjadi di sekitarnya. Dinamika akan menjadi altar kontestan bagi proses seleksi keberadaan TG. Dalam kontek ini masyarakat akan mengembangkan suatu kesadaran intepretasi baru tentang TG sebagai sumber identifikasinya lengkap dengan kreteria standar.
Perspektif dalam tulisan ini tentunya tidak menyerah pada premis memilih apakah TG ‘kembali ke barak’ yang berkepentingan dengan pemeliharaan nilai, tradisi keagamaan dan keilmuan yang continue melalui dunia pesantren di mana kontek ini telah memberikan penghargaan yang tinggi bagi institusi TG sebagai figure yang tak dapat dibandingkan dengan seorang M. Ag., MA atau setingkat Doktor dalam hal moralitas keilmuan; atau terus berada di wilayah politik praktis sebagai politisi dan bila perlu menjadi elit birokrasi; sebagai pilihan yang benar. Kedua pilihan tersebut mengandung dimensinya masing-masing tergantung dari aspek mana mendekatinya. Hal ini sangat subyektif dan posibilitas sifatnya.
Hal yang ingin ditegaskan bukan pada imanensi pilihan dua hal yang sering dipertentangkan di atas. Tetapi bahwa dinamika perspektif dan kesadaran politik masyarakat akan sendirinya mengkonstruksi ulang tradisi ketuanguruan sebagai sumber identifikasi dalam kreteria-kreteria yang baru, selektif dan rasional; yang juga berarti akan menggusur institusi TG yang dipandang tidak dapat bersinergi dengan dinamika yang terjadi. Dalam kontek politik TG sangat berkepentingan dengan kontestan pemilih yang telah memiliki kesadaran baru. Pertanyaan mendasar dapat diajukan, dapatkah otoritas politik dapat dibangun dalam ketidakadaan dukungan politis. Apakah dukungan politik akan berpaling dengan sendirinya bila institusi TG yang telah memiliki otoritas politik ternyata bertentangan alias beroposisi multibiner dengan kreteria serta harapan dari pemilihnya. Masing-masing tentu dapat dengan mudah menemukan jawabanya. Kedepan dinamika kesadaran politik yang terobjektifkan dan terasionalisasikan akan menjadi ‘penjagal’ yang santun dan adil bagi otoritas dan karir politik TG, termasuk batas pengaruh, pemeranan dan pemposisiannya.
Yang ingin ditegaskan dalam konstruksi wacana TG dan politik ini adalah pentingnya merumuskan kembali faktor-faktor yang dapat menunjang dan memelihara eksistensi otoritas politik TG yang menyimpan prosfektif bagi proses penataan keberpolitikan khususnya masyarakat NTB pada tataran struktural dan kultural yang berbasis pada otoritas nilai dan ortopraksi sosial. Karena dua hal inilah yang sangat jauh dari praktik keberpolitikan kita, sekaligus menjadi harapan baru dari dinamisme kesadaran yang dipacu kenyataan objektivikasi yang meluas. Kalaupun banyak tokoh TG menduduki tempat terhormat dalam praktik politik praktis dan jabatan elit birokrasi. Umumnya mereka tenggelam dalam reduksi nilai mondialitas—kepentingan yang justru meredupkan citra moral dan eksistensinya. Adanya tidak begitu membawa perubahan sebesar publisitas keberadaannya sebagai pribadi yang memiliki otoritas nilai dan ortopraksi religi. Inilah yang menjadi gugatan banyak pihak supaya TG tidak lagi terjun dalam dunia politik praktis dan menjadi elit birokrasi yang pasti akan berhadapan dengan tembok absurditas.
Alasan ini sebenarnya dapat juga berarti sebaliknya yaitu keharusan untuk TG terjun lebih intens dalam dunia politik praktis dan birokrasi sekaligus melakukan advokasi euphemis bagi penataan tradisi keberpolitikan dan kepengelolaan birokrasi yang bersumber pada nilai dan layanan, yang juga dapat dipandang sebagai bentuk dakwah struktural. Pilihan ini tentu mempersyaratkan pertama, komitmen bersinergi dengan kesadaran massa kontestan dalam suatu konstruksi kesepakatan yang mutualisme di satu sisi dan tidak terlepas dari ikatan nilai serta ortopraksi sosial yang telaten meladeni arus balik dari kontrak politik yang dibangunnya..Kedua, kesediaan membangun jaringan, komitmen dan kesepakatan yang formal dan interkonektif dengan TG-TG dan pihak lain untuk memperluas batas-batas relasi dan kuasa politik yang memasok dukungan bagi pemenuhan kepentingan yang berdimensi normative beserta infrastruktur pendukungnya. Ketiga, kesediaan untuk terus menerus mereaktualisasi keberadaan, peran, posisi, sikap, perilaku dan pilihan politiknya dengan memberi ruang yang terbuka bagi kritik. Keempat, kesediaan melakukan diversifikasi pemeranan dan pemposisian diri yang tidak melulu menjadi penjaga nilai, norma dan tradisi agama tetapi juga terjun langsung dalam upaya-upaya pembelaan, advokasi sosial dan lingkungan yang menyangkut aspek yang lebih luas dan fundamental. Di sini figur TG harus merepresentasikan figur yang berwawasan transclasses, maju, insfiratif dan pengembang sosial yang saleh. Kelima, tersedianya basis massa yang jelas, luas menjangkau semua lapisan kelas dan unsur sebagai modal dasar.
Pemenuhan prasyarat-prasyarat ini dapat dipandang sebagai faktor penentu terpeliharanya otoritas politik TG bila pilihan terjun pada politik praktis. Ketiadaan faktor-faktor tersebut justru akan menjadi ancaman serius tidak saja bagi eksistensi pribadi TG, tetapi juga lembaga pendidikan pesantren itu sendiri. Sebaliknya, pemenuhan faktor-faktor tersebut akan dapat berekspansi bagi kepentingan-kepentingan lain yang lebih menyeluruh, sekaligus memperluas batas-batas relasi dan kuasanya. Banyak kasus pendidikan pesantren yang gulung tikar, atau tidak mengalami perkembangan yang tidak berarti karena faktor pilihan yang tidak bijak dan akurat ini.
Dalam kontek ini, diperlukan kesadaran TG secara pribadi dan kelembagaan untuk memetakan ambisi politik dan komitmen dakwah (khususnya pendidikan) yang memungkinkan plihan saat ini dan kedepan menjamin kesinambungan dan kemajuan pendidikan pesantren. Ambisi politik sejauh mungkin dapat diperhitungkan secara kwantitatif-kualitatif menemukan titik kontinum bagi kepentingan, program dan kegiatan pendidikan yang dibangun oleh tradisi nilai kepesantrenan yang telah mapan bukan sebaliknya pendidikan pesantren yang mengalami intrusive seperti kebanyakan pesantren yang Pembina/pengelolanya terjun menurutkan ‘nafsu’ politik tampa perhitungan yang terukur jelas.
B. Menggagas Ruang Politik Pemuda
Dalam perspektif di atas positioning politik pemuda sebagai quasi penyeimbang penting dikonstruksi dan direvitalisasi untuk tetap menjaga politik sebagai ’hadam publik’ yang selalu dapat menebarkan virtualitas serta mendorong perwujudan etik civilitas. Ini tentu berkaitan dengan potensi pemuda yang berbasis kompetensi, profesionalisme dan keilmuan yang memiliki potensi yang sama untuk mendapatkan status sosial ekonomi (SEE) yang baik masuk menjadi the rulling class dan middle class melalui proses mobilitas vertikal. Bukan patronase politik, golongan yang justru melahirkan politisi dan birokrasi yang fractured terkontaminasi carut marut politik yang akhirnya akan menjadi subordinated dari kekuatan-kekuatan tertentu.
Mobilisasi pemeranan pemuda ke dalam dua lapis sosial tersebut menjadi alternatif strategis dalam menggerakkan dan mengarahkan perubahan ke arah cita etik politik khususnya dalam kontek ke-NTB-an. Hal ini sejalan dengan pemikiran yang menempatkan peran elit (the rulling class) dan kelas menengah (middle class) sebagai prasyarat yang signifikan menggerakkan dan mengarahkan perubahan. Terlepas dari bangun perspektif ini pemuda memiliki peran penting dalam kontek historis perubahan demikian pula dalam bernegara di mana sistem politik belum mapan dalam mengakomodasi aspirasi publik, dan tingkat pendidikan masyarakat rendah yang menyebabkan mereka tidak mampu mengartikulasikan kepentingan politiknya.
Berjangkar pada pemikiran di atas dalam kontek aktual perpolitikan NTB yang diwarnai dengan revitalisasi dan pemposisian politik TG di satu sisi dan harapan berlebih masyarakat pada ’berkah’ politik mereka ruang politik pemuda terbuka hadir sebagai penjaga cita ideal politik dalam praktik sekaligus sebagai pressure group yang (1) menjaga vitalitas setiap denyut perubahan dengan selalu memantau dan mengkritisi setiap kebijakan publik dan produk politik yang senantiasa berpihak kepada umat, bukan kepada golongan, kepentingan atau organisasi tertentu; (2) membangun iklim pendidikan politik yang kondusif di mana kampus menjadi pusat inkubasi dan regenerasi kepemimpinan politik; dan (3) memiliki ideologi keislaman yang jelas sebagai sandaran pada tingkat teologik, strategik dan praktik....etc.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon Tinggalkan Komentar