Selasa, 21 Februari 2012

MATARAM OH MATARAM..

Dewasa ini, kita sering menyaksikan tayangan berita bahwa di beberapa titik di wilayah ibu kota Jakarta kerap terjadi banjir. Entah karena sistem irigasi yang tak lancar, bendungan jebol, atau karena air sungai meluap. Mungkin ada sebagian kita yang tidak peduli lalu memindahkan channel-nya ke acara-acara hiburan lainnya dengan alasan berita itu-itu saja yang diperlihatkan. Tapi bagaimana kalau banjir itu menimpa kota kita sendiri. Kota NTB. Mataram. Apakah kita masih tidak peduli? Saya yakin anda akan miris menyaksikan acara berita itu.

Mataram memang sudah tumbuh menjadi kota yang tergolong maju. Baik dari segi pendidikan maupun tekhnologi. Sudah barang pasti setiap kota yang tumbuh akan menjadi tempat yang dipadati oleh pendatang-pendatang yang semakin banyak setiap waktunya. Itu karena masing-masing orang yang datang merasa memiliki mimpi yang ia lihat ada dalam kota tersebut dan harus ia gapai. Walhasil, kota Mataram menjadi padat dan hampir-hampir tak terkendali kuantitas penduduknya. Semakin banyak kuantitas peduduk maka akan semakin sulit pula untuk diatur. Sehingga sebagian besar pola kehidupan di kota Mataram menjadi buruk dan tak bersih lagi. Salah satu “hasil” yang ditimbulkan adalah banjir yang menggenangi hampir sebagian besar spot-spot pendidikan di kota Mataram.

Sudah saatnya kita berbenah dari apa yang sudah terjadi. Banjir yang menggenangi Mataram adalah bentuk teguran kelalaian kita. Jangan anggap remeh hal-hal kecil di sekitar kita karena dengan membuang sampah sembarangan saja akan mengakibatkan saluran irigasi macet lalu kemudian banjir akan siap menerjang. Apakah hati kita tidak terketuk juga melihat para petugas dinas kebersihan kota mengangkati sampah-sampah “kecil” yng kita buang dan menyumbat selokan saat air tergenang. Atau apakah kita benar-benar belum terketuk melihat ibu-ibu dengan terpaksa bergumal dengan sampah yang menutupi selokan di depan rumahnya karena air yang tergenang mencapai lantai rumahnya. Atau kita akan sadar kalau kita adalah salah satu dari orang yang membereskan sampah orang lain yang membanjiri rumah kita bersama air hitam kecoklatan itu.

Kita harus sadar kalau perubahan itu tak akan terjadi kalau kita tidak memulai dari diri kita sendiri. Kita tidak perlu menunggu orang terlebih dahulu. Kita bukan anak kecil lagi. Bukan anak kecil yang nakal dan harus menunggu bapaknya memarahinya baru ia mau menurut. Cukuplah banjir yang kita lihat hari ini sebagai pelajaran berharga untuk mengintropeksi diri agar memulai pola hidup yang peduli dengan lingkungan. Atau setidaknya sebagai pribadi yang peduli dengan kehidupan anak dan cucu kita kedepannya kelak. Karena banjir yang terjadi hari ini jika tidak segera ditanggapi akan menjadi semakin parah. Yah.. Mataram just like Jakarta. [Mumz]

1 komentar:

Mohon Tinggalkan Komentar