Tulisan ini terinspirasi dari seorang teman, teman yang selalu mengingatkanku
pada adik-adikku tiap kali kami “bicara.” Seseorang yang memberiku satu lagi contoh, bukti, bahwa usia tidak serta
merta menunjukkan tingkat kedewasaan seseorang meski mungkin juga tidak sengaja
karena kemudian aku juga masih “melihat”
kekanak-kanakkannya. Juga bahwa tidak selalu tentang siapa yang bicara tapi
tentang apa yang dibicarakan dan karena manusia selalu punya dua sisi maka
cerita ini kurasa layak untuk dibagi, ingin kubagi. Aku tidak akan bercerita
tentang temanku ini, bukan tidak menarik karena aku sendiri selalu berpikir
bahwa setiap individu selalu menarik
untuk digali, dipelajari juga diceritakan tapi disini aku ingin bercerita tentang
sebuah pertanyaan yang membuatku terus berpikir (kuharap aku akan terus
berpikir).
Dia bertanya padaku, sebuah pertanyaan yang cukup sederhana sebenarnya tapi terasa begitu dalam ketika aku mulai memikirkan jawabannya. Pertanyaannya kurang lebih seperti ini, apa kamu sudah membuat orang lain tersenyum (bukan tertawa) hari ini? Pertanyaan yang tak pernah terpikir dan belum pernah ada yang menanyakan padaku sebelumnya, tak merasa penting apalagi istimewa. Jawabannya juga tidak sulit tentunya, sudah atau belum. Pemikiran selanjutnya mungkin akan seperti ini, lalu kenapa kalau sudah atau kalau belum terus apa masalahnya. Aku juga sempat berpikir seperti itu.
Untuk orang sepertiku, baik dalam diam atau berisiknya, tidak pernah sulit membuat orang lain tertawa sama halnya tak sulit juga membuat orang lain kesal bahkan sampai ingin menonjok. Aku juga jenis orang yang mudah tertawa, mudah juga ingin menonjok (belum pernah meski kadang ingin sekali). Bahwa kemudian pertanyaan ini mengusik pikiranku, itu yang sedang kucari jawabnya. Jika pertanyaannya adalah apa aku sudah pernah membuat orang lain tersenyum (bukan tertawa) tanpa embel-embel hari ini tentunya aku akan langsung menjawab sudah dan kurasa aku juga sudah membuat orang lain tersenyum hari itu, ketika temanku itu bertanya.
Saat itu tak terlalu banyak yang kupikirkan, sebuah pertanyaan hanya butuh jawaban dan aku sudah menjawab. Jika kemudian otakku yang tak pernah hening ini mengulang pertanyaan yang sama aku mulai berpikir, apa yang sudah aku lakukan, hari ini. Belum pernah dalam hidupku ini aku membuat suatu rencana atau setidaknya memikirkan kalau aku ingin membuat orang lain tersenyum, besok. Tidak juga di awal pagi melintas di kepala bahwa aku harus membuat orang lain tersenyum hari ini, meski hanya satu misalnya. Yang kupikirkan adalah apa yang harus kulakukan, untukku, untuk hidupku, besok kadang juga nanti. Sesuatu yang hanya berkutat pada rutinitas, sebuah keterpaksaan yang sepertinya tak bisa kupatahkan. Hanya tentangku, bukan orang lain, sebuah bentuk keegoisan yang kemudian melahirkan kesiaan.
Sudah merasakan betapa besar kekuatan sebuah senyuman meski tak sampai memikirkan bahwa yang seperti ini lebih baik dan harus lebih sering dilakukan, setiap hari. Tidak ingin menjadikannya sebuah target kaku yang mungkin hanya akan melahirkan keterpaksaan yang lain tapi ingin terus menjadikannya sesuatu yang layak untuk direnungkan juga dilakukan. Kulihat senyum dari mereka yang kukenal, kutahu, tak kukenal, tak kutahu dan semuanya begitu kuat, lebih kuat dari tawa yang terbahak yang sering kulakukan untuk menyisihkan sakit yang ada, tak menghilangkan, hanya sebuah pelarian sementara.
Sebuah senyum pernah merubah duniaku, membuatnya jungkar balik dari aku yang terbiasa mencaci. Meski masih mencaci dan kembali mencaci ada sebuah kesadaran yang tidak bisa aku singkirkan, kuabaikan (meski kucoba berkali-kali) bahwa aku tidak sedang membenci tapi sebaliknya tidak bisa menahan gejolak hati. Satu senyum meski berbalas ribuan makian tak bisa kubohongi yang seperti ini yang kucari, ingin kumiliki. Tidak selalu harus memiliki memang, mungkin juga bukan untuk dimiliki kadang, hanya ingin merasakan bahwa dunia tak sekejam bayangan atau mimpi yang menghantui ketika masih ada senyuman yang menyapa hari ini. Aku hampir selalu tertawa, kadang membuat orang tertawa, bukan hal yang buruk mungkin, kadang juga diperlukan tapi jika kemudian tanpa jiwa, tanpa ada perenungan, sekejap saja rasanya. Karena selanjutnya aku sendiri dan aku tak bisa tertawa sendiri, seringnya menjadi menangis sendiri.
Belum bisa melakukan sesuatu yang besar saat ini, untukku sendiri ataupun untuk orang lain. Ingin melakukan sesuatu yang meski mungkin kecil tapi bisa berarti tidak kecil untuk orang lain, karena aku pernah merasakan dan aku ingin membagi yang kurasakan. Sebuah senyuman yang sepertinya tak berarti (aku juga sering tersenyum sendiri) nyatanya bisa begitu berarti untuk orang lain (membuatku tersenyum sendiri dan berani bermimpi). Sebuah senyuman yang akan menjauhkanku dari kesiaan, sebuah senyuman yang mampu melahirkan harapan.
Aku ingin tersenyum (bukan tertawa), bahwa harapan itu masih ada dan mimpi suatu saat pasti bisa menjadi nyata. Tak perlu merencanakan karena dari sebuah perenungan, dari ribuan pemikiran, kurasa aku semakin tahu yang kumau, tahu apa yang ingin kulakukan. Tak ingin berandai-andai seperti dia (dulu) yang pandai dan hampir selalu tersenyum dan membuatku tersenyum meski sembunyi-sembunyi, dia yang meski tak terlihat lagi tapi masih menyisakan senyum setiap kali teringat, cukup menjadi aku yang ingin membuka dan menutup hari dengan sebuah pemikiran tentang sebuah pertanyaan, apa aku sudah membuat orang lain tersenyum (bukan tertawa) hari ini? Yang akhirnya membuatku merenungi kembali dan memunculkan pertanyaan selanjurnya, apa aku sudah berbuat sesuatu (berguna) untuk orang lain?
Catatan: untuk temanku, terima kasih atas pelajarannya. Tak akan kupaksakan pertemanan ini sebagaimana tak akan kupaksakan kamu memaafkanku, meski aku pernah bilang tidak akan bosan mengucapkan maaf (dan memang tidak akan pernah bosan) aku tahu aku tidak punya hak untuk menuntut kata maafmu. Senang (pernah) mengenalmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon Tinggalkan Komentar