MEMBACA SEPI
Dalam sepi,
Kata tak begitu berarti,
Kesungkanan memuai dalam corak canda
Yang berbicara kasut makna yang tak bersua
Dalam sepi,
Perhitungan yang ber-nash mencairkan diri
Angin di penghujung musim menarik kabut, mencerca
Maka pikiran-hati-pilihan menjadi sangat kentara,
berbeda
Dalam sepi,
‘kutakut diri sendiri,
sendiri menyibak tirai hidup penuh rahasia
dalam belantara yang kehilangan jiwa sebagai mitra
Di manakah...di manakah kisaran jiwa mencari, menemu
muara gempitanya,
Dalam sepi,
Aku memilih menjadi manja berdoa
Tuhan, pertautkanlah kami dalam cakrawala
cinta-Mu
MENGAPA
Mengapa,
dengan angin malam siang dan awan
‘kulebih biasa menyebut kawan
tapi tidak dengan kesabaran
Mengapa,
pada Tuhan ‘kurawat ketelatenan
mengungkap apa yang tak tertahan
tapi tidak dengan kerawanan
yang memburu separuh usia yang terlewatkan
jadi tawanan
Mengapa,
pada tulisan ‘kuterlatih menuliskan apa saja
perihal teori abstraksi atau sekedar hipotesa
tapi tidak dengan rasa yang tersita,
dan menggoda memilih yang sia-sia
Mengapa,
pada pikiran ‘kubiasa menaksir dengan perhitungan yang mantap
semua problema dan perkiraan terantisipasi dengan sigap
tapi tidak dengan gemuruh kegamangan jiwa yang gagap
dalam gelap,
ia menjadi sang yogi yang mabuk tirta tersesat, kalap
Mengapa,
pada hati ‘kuterbiasa bermanjaria dalam sepi,
tapi tidak dengan diri
yang tak lagi bisa sendiri membaca peta mimpi esok hari,
Dasan Baru, 17 September 2007
SAJAK SEKALI-KALI
Ketika Kau jenguk diri dari balik kesibukan sehari-hari,
diri seperti abai berulang-ulangkali,
Kepenatan yang menjelma dari rutinitas sehari-hari meledek pergi
Janji dalam sepi
berucap manja seperti bayi,
‘Aku mau menemui-Mu tidak dengan kepekatan hati iri’
hari ini,
Ketika Kau tegur diri yang ambisi menguras semua mimpi esok hari,
diri tak ubahnya mesin tua yang dipaksa berpacu lari,
Jarak memilih antara yang berarti dan frustrasi jadi setipis kulit ari
Kau lebih tahu alasan tetanggaku yang gantung diri kemarin hari,
Persis, saat dia berdoa terakhir kali,
‘kelak anak-anaknya tak ada yang boleh memilih mati’
Entah karena kalah bertarung dengan kehidupan yang sehari-hari,
mengikuti trend bom bunuh diri
atau hanya sekedar terpesona pada pilihan ideologi Riyashi
NII-Iman Samudera apalagi Amrozi
Ketika Kau ledek aku pergi,
Sekali-kali
tak tergerak hati
menimbang keputusan sehari-hari yang tak mengasapi api
Pengalaman sehari-hari adalah mengundi yang tak berarti dari gugusan apologi tentang esok hari
Jangan Kau salahkan diri,
Sewaktu-waktu aku terlambat datang menemui-Mu berserahdiri,
Ketika Kau puji aku dengan belati pagi,
Fajar dhuha yang meruak dari sujud terakhir dari dua belas rekaat sholatku, berubah menjadi nyeri,
Tapi aku masih bertahan sendiri,
di sini
sekali-kali
menimang sepi dalam kobaran api,
Dan ketika Kau panggil aku diam-diam di ujung malam dengan hati,
Terbukalah semua hijab yang berbisik ‘semua tak berarti’
Kecuali memilih-Mu tampa kalkulasi
Sekali-kali,
(Dikutip dari buku Antologi Menunggu Pulang, penulis Hablul Warid)
0 komentar:
Posting Komentar
Mohon Tinggalkan Komentar