Sabtu, 27 Agustus 2011

POROK-POROK MENGHAYAL METON,...

MEMBACA SEPI

Dalam sepi,

Kata tak begitu berarti,

Kesungkanan memuai dalam corak canda

Yang berbicara kasut makna yang tak bersua

Dalam sepi,

Perhitungan yang ber-nash mencairkan diri

Angin di penghujung musim menarik kabut, mencerca

Maka pikiran-hati-pilihan menjadi sangat kentara,

berbeda

Dalam sepi,

‘kutakut diri sendiri,

sendiri menyibak tirai hidup penuh rahasia

dalam belantara yang kehilangan jiwa sebagai mitra

Di manakah...di manakah kisaran jiwa mencari, menemu

muara gempitanya,

Dalam sepi,

Aku memilih menjadi manja berdoa

Tuhan, pertautkanlah kami dalam cakrawala

cinta-Mu

MENGAPA

Mengapa,

dengan angin malam siang dan awan

‘kulebih biasa menyebut kawan

tapi tidak dengan kesabaran

Mengapa,

pada Tuhan ‘kurawat ketelatenan

mengungkap apa yang tak tertahan

tapi tidak dengan kerawanan

yang memburu separuh usia yang terlewatkan

jadi tawanan

Mengapa,

pada tulisan ‘kuterlatih menuliskan apa saja

perihal teori abstraksi atau sekedar hipotesa

tapi tidak dengan rasa yang tersita,

dan menggoda memilih yang sia-sia

Mengapa,

pada pikiran ‘kubiasa menaksir dengan perhitungan yang mantap

semua problema dan perkiraan terantisipasi dengan sigap

tapi tidak dengan gemuruh kegamangan jiwa yang gagap

dalam gelap,

ia menjadi sang yogi yang mabuk tirta tersesat, kalap

Mengapa,

pada hati ‘kuterbiasa bermanjaria dalam sepi,

tapi tidak dengan diri

yang tak lagi bisa sendiri membaca peta mimpi esok hari,

Dasan Baru, 17 September 2007



SAJAK SEKALI-KALI

Ketika Kau jenguk diri dari balik kesibukan sehari-hari,

diri seperti abai berulang-ulangkali,

Kepenatan yang menjelma dari rutinitas sehari-hari meledek pergi

Janji dalam sepi

berucap manja seperti bayi,

‘Aku mau menemui-Mu tidak dengan kepekatan hati iri’

hari ini,

Ketika Kau tegur diri yang ambisi menguras semua mimpi esok hari,

diri tak ubahnya mesin tua yang dipaksa berpacu lari,

Jarak memilih antara yang berarti dan frustrasi jadi setipis kulit ari

Kau lebih tahu alasan tetanggaku yang gantung diri kemarin hari,

Persis, saat dia berdoa terakhir kali,

‘kelak anak-anaknya tak ada yang boleh memilih mati’

Entah karena kalah bertarung dengan kehidupan yang sehari-hari,

mengikuti trend bom bunuh diri

atau hanya sekedar terpesona pada pilihan ideologi Riyashi

NII-Iman Samudera apalagi Amrozi

Ketika Kau ledek aku pergi,

Sekali-kali

tak tergerak hati

menimbang keputusan sehari-hari yang tak mengasapi api

Pengalaman sehari-hari adalah mengundi yang tak berarti dari gugusan apologi tentang esok hari

Jangan Kau salahkan diri,

Sewaktu-waktu aku terlambat datang menemui-Mu berserahdiri,

Ketika Kau puji aku dengan belati pagi,

Fajar dhuha yang meruak dari sujud terakhir dari dua belas rekaat sholatku, berubah menjadi nyeri,

Tapi aku masih bertahan sendiri,

di sini

sekali-kali

menimang sepi dalam kobaran api,

Dan ketika Kau panggil aku diam-diam di ujung malam dengan hati,

Terbukalah semua hijab yang berbisik ‘semua tak berarti’

Kecuali memilih-Mu tampa kalkulasi

Sekali-kali,

(Dikutip dari buku Antologi Menunggu Pulang, penulis Hablul Warid)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mohon Tinggalkan Komentar