REPOSISIONING PERAN ORANG TUA DAN MASYARAKAT DALAM PENDIDIKAN
Penulis : Hablul Warid, S.Ag.,M.Pd.(Pembina Komunitas Kampung Media Sopoq Angen)
Pendidikan dalam batas-batas tertentu merupakan stimulasi dan ekstraksi konten keberhidupan dan kebersamaan yang diteruskan sebagai ikhtiar konservasi struktur dan sistem sosial. Pendidikan menyangkut kebutuhan esensial, massif dan universal. Secara ekstrim pendidikan adalah hidup itu sendiri yang harus dipelihara, dipertahankan dan diteruskan. Inilah batasan yang menjadi penjelas keharusan pendidikan ber-nash, memiliki watak yang dinamis, inovatif dan pada saat-saat tertentu revolusioner.
Dalam pemahaman yang lebih berani pendidikan harus memiliki quasi menembus batas-batas konservasi sistem dan struktur sosial bila quasi stimulasi tidak dapat mengarahkan individu dan masyarakat pada perubahan-perubahan yang mengantarkannya pada kemartabatan hidup dalam ukuran-ukuran kemanusiaan dan kemajuan. Kontek ini bertalian dengan memudarnya wilayah ruang-waktu yang menuntut pendefenisian ulang makna hidup dan kebersamaan. Inilah yang mengantarkan manusia/masyarakat (dengan aneka varian dan kompleksitas) pada kesatuan kemanusiaan setelah melalui proses seleksi.
Selain memudarnya wilayah ruang-waktu, apathy sistem sosial dan moralitas yang berhadapan dengan realitas pencapaian kemajuan merupakan pertimbangan yang tidak kalah penting. Alih-alih kemajuan menjadi piranti tamadun diri dan keberhidupan dalam arti sebenarnya malah menjerumuskan pada krisis kemanusiaan dan ekologi yang menuntut reformulasi pendidikan yang mampu mengembalikan keberhidupan individu-masyarakat pada fitrah. Pendidikan yang berbasis pada fitrah tidak abai pada proses pemuliaan dan pengembangan aspek-aspek primordial kemanusiaan serta sosialitas yang telah dianugerahkan pencipta (Allah SWT).
Dalam kerangka dua tilikan di atas kemanusiaan dan pendidikan menjadi dua sisi yang saling melengkapi. Kemanusiaan yang menjelma dalam item-item substantif pencapaian (tujuan) membutuhkan pendidikan yang menjelaskan dan menyediakan perangkat sistem, pendekatan, metode serta teknik yang efektif, efisien dan produktif yang diekstraksi dari upaya-upaya pengukuran, penelaahan dan pengujian yang akurat. Karenanya kemanusiaan dan pendidikan merupakan sesuatu yang kompleks-dinamis serta fundamental dalam hidup manusia yang selalu dituntut menyelaraskannya dengan item-item substantif pencapaian dan seperangkat alternatif cara yang telah disediakan.
Pendidikan sebagai sistem yang berperan menjadi perangkat penjelas, penyesuai, transformasi dan transitif berlangsung dalam lingkungan keluarga, sekolah (formal) dan masyarakat yang masing-masing memiliki peran penting dan khas. Pendidikan keluarga merupakaan pendidikan dasar yang utama dalam proses pertumbuhan dan perkembangan anak baik jasmani maupun rohani. Pendidikan formal menjadi penyelia memasuki tuntutan formalisme hidup dalam lingkungan sosial yang lebih luas-nyata yang memiliki bounders nilai, tradisi dan budaya sendiri. Sedangkan pendidikan di lingkungan masyarakat merupakan otomatisasi keberhidupan dalam arti sebenarnya yang di dalamnya memungkinkan individu masih dapat mengembangkan kemampuan-kemampuan dasar dan aktual baik yang belum diperoleh sebelumnya maupun belum bertumbuh/berkembang optimal.
Pemahaman pendidikan dalam tiga domain ini tentu tidak untuk menunjukkan sifat dan peran masing-masing yang ad-hoc tetapi lebih menunjukkan kontinuitas pendidikan. Dalam perspektif keislaman konsep dan aktivitas pendidikan berlangsung kontinum min al-mahdi ila al-lahdi. Masing-masing domain dituntut memiliki dasar, tujuan, arah, pendekatan dan cara yang semuanya harus mengacu pada preskripsi Al-Qur’an-Hadist. Keharusan ini bertalian harapan masing-masing domain bertemu simpul tuju sehingga tidak memunculkan kesenjangan dalam dasar, tujuan, arah yang hendak dicapai dalam proses pematangan pertumbuhan dan perkembangan individu melalui artikulasi pendidikan sesuai nilai, tradisi dan identitas kultural.
Saat ini masyarakat menaruh harapan yang sangat besar pada pendidikan formal (sekolah-perguruan tinggi) sebagai dasar/bekal anak mencapai kesuksesan di masa depan. Inkubasi pengharapan ini tentu saja didorong semakin kuat pendidikan formal ’menguasai’ dan mengartikulasikan kemauan serta kebutuhan pendidikan masyarakat dalam batas-batas yang kasat-formal. Kondisi ini menjebak lebih jauh pendidikan formal bersifat hegemonik terhadap pemenuhan hak-hak pendidikan masyarakat, termasuk yang menentukan baik-buruk, bermutu tidak bermutu dan ukuran-ukuran keberhasilan ketidakberhasilan. Masyarakat hanya menyerahkan anak-anak mereka dibentuk dengan parameter yang ’dianggap’ layak sekolah dan perguruan tinggi tampa memiliki quasi aktif menentukan. Lambat laun terbentuk formalisme berlebih dan birokrasi pendidikan yang rigid dengan cost pendidikan yang tidak masuk akal. Jadilah pendidikan yang bermutu untuk orang-orang mampu secara material. Orang miskin menjadi kehilangan hak mendapat pendidikan yang layak meskipun secara tegas hak-haknya terkonservasi apik dalam konstitusi. Pendidikan menjelma menjadi tempat perburuan materi, bisnis buku, sablon, pakaian dengan argumrntasi-argumentasi justifikatif dan narsis.
Akhirnya, pendidikan formal dalam batas-batas yang tidak dapat ditolerir menjadi lembaga dan sistem yang bertanggungjawab terhadap proses marginalisasi dan alienasi masyarakat. Seharusnya pendidikan formal merupakan alternatif proses sosialisasi, transformasi dan transitif individu ke dalam sistem nilai, tradisi dan identitas kulturalnya sehingga tidak terpinggirkan (marginal) dan teralienasi. Hal ini tentu saja tidak akan terjadi bila pendidikan di lingkup keluarga dan masyarakat berlangsung efektif.
Idealnya, pendidikan keluarga menjadi dasar utama membekali individu memasuki lingkungan sosial yang lebih luas dan lingkungan profesi yang lebih spesifik. Cita masa depan dan pribadi individu dibentuk pada pendidikan keluarga, tidak diserahkan begitu saja kepada sekolah/PT yang justru akan membuat individu ambigu memasuki lingkungan keberhidupan yang sesungguhnya. Pendidikan di tingkat keluarga harus tertangani lebih baik. Memiliki dasar, tujuan, arah, program, kegiataan, seperangkat pendekatan bertindak yang dirumuskan, tidak sekedar pemenuhan tanggungjawab genetis, biologis, sosial yang alamiah. Di dalam pendidikan keluarga harus terjadi integrasi antara atmosfir keluarga yang dipenuhi kasih sayang, kelembutan dengan keahlian, ketelatenan dan konsistensi aktivitas pendidikan yang mengacu pada dasar, tujuan, arah dan program yang jelas.
Dengan demikian masa depan individu sudah benar-benar terencana sejak pendidikan keluarga yang diikuti stimulasi dan pengkondisian melalui aktivitas pendidikan keluarga yang terencana dengan jelas. Di sini pendidikan keluarga sudah harus didasarkan pada suatu kurikulum yang jelas. Dalam kontek ini pendidikan sekolah/PT menjadi persiapan yang membantu pendidikan keluarga untuk mendidik dan mengarahkan individu pada lingkungan di luar keluarganya yang memiliki sistem nilai dan tuntutan yang bersifat formal sehingga dapat berkoeksistensi di dalam keluarga, masyarakat dan lingkungan kerja.
Pendidikan keluarga dalam mindset di atas dapat kita temukan dalam konsepsi pendidikan keluarga dalam Islam. Dalam konsep Islam pendidikan keluarga justru dimulai sejak fase konsepsi. Seorang laki-laki dan perempuan yang terikat perkawinan sah sudah mulai memiliki tanggungjawab pendidikan sejak mulai melakukan hubungan suami istri dengan beberapa tuntunan seperti berwudhu, sholat sunnah dan berdo’a sebelum berhubungan untuk menguatkan cita anak yang akan lahir dari buah hubungannya di masa depan. Hasil penelitian ahli psikologi suasana berhubungan mempengaruhi pembentuk kejiwaan anak.
Pendidikan ini lebih lanjut setelah terbentuknya emberio dalam rahim melalui penciptaan suasana yang kondusif dan stimulasi-stimulasi yang dapat disesuaikan dengan kepentingan cita individu yang ingin dibentuk di masa depan melalui kompromi formulatif pada level keluarga. Aktivitas ini berlanjut terus sampai cabang bayi lahir diikuti beberapa beberapa tanggungjawab seperti membacakan azan dan iqamat pada telinga kanan kiri bayi untuk memepertegas akar serta basis sprituallitas primordial, memberi nama sesuai cita bentukan di masa depan (nama bukan sekedar bagus sebutan tetapi memiliki filosofi-etik), aqiqah, hitan sampai individu memasuki usia baligh. Kurikulum pendidikan mengacu pada internalisasi dan eksternalisasi paritas keberimanan dan keberislaman/rukun iman dan rukun Islam (Standar Ketuntasan Minimal) dalam suatu interpretasi keberhidupan yang ideal dan aktual.
Sedangkan pendidikan masyarakat bersifat komplementer yang dalam batas-batas tertentu dapat bersifat subsitutif pada aspek-aspek keahlian maupun kecakapan yang tidak dapat dipenuhi dalam pelaksanaan pendidikan di tingkat keluarga dan sekolah/perguruan tinggi. Hubungan ini dapat dilihat secara kasatmata dalam pelaksanaan magang dan kuliah kerja nyata. Hanya saja kedua kontek ini lebih menekankan pada pilihan keahlian yang spesifik padahal individu tidak hidup dalam wilayah keahlian yang menjadi pilihannya saja tetapi dalam lingkungan agama, etnis, ideologi, teologi dan sosial yang kompleks. Karena tekanan pemahaman seperti ini output pendidikan terkadang memiliki keahlian yang mengagumkan tetapi gagap, terserabut memasuki kompleksitas masyarakat; memiliki kemampuan mnyelesaikan masalah dalam batas keahlian tetapi miskin sense of crisis and belonging of others ,tidak dewasa berbeda dan tidak terbiasa berbagi.
Pendidikan dalam masyarakat sebenarnya memiliki domain yang lebih luas termasuk stimulasi bernegosiasi dan life quation dalam diversitas yang segmentatif tampa kehilangan diri di tengah sistem yang kompleks. Hal ini dapat dipenuhi dengan pemfungsian berbagai oraganisasi agama, sosial, politik dan masyarakat sebagai centre of incubation. Kontek ini telah diaktualkan Nabi Muhammad SAW dengan pembentukan cita ummatan wasathan dan thoifah-thoifah yang memungkinkan individu-individu muslim dapat mengalami proses sosialisasi dalam arti sebenarnya sesuai cita-etik tauhid.
Dengan demikian pendidikan keluarga dan masyarakat yang efektif mengandaikan suatu konsepsi pendidikan keluarga yang bervisi dan lingkungan sosial yang menjadi tempat keberlangsungan pendidikan masyarakat merupakan lingkungan sosial yang misioner. Mewujudkan keduanya tentu saja membutuhkan upaya reposisioning peran orang tua dan masyarakat dalam pendidikan. Orang tua tidak hanya memiliki kewajiban memenuhi kebutuhan biologis dan emosional tetapi juga cita pribadi dan masa depan anak melalui implementasi pendidikan di tingkat keluarga yang terencana dan sistematis, memiliki dasar, tujuan, arah, pendekatan, program dan kegiatan yang jelas.
Orang tua dalam kontek peran ini harus dapat mengaktualkan keberadaannya sebagai pendidik yang pengasih, penyayang, lembut, tegas, adil, komunikatif sekaligus profesional dalam mendidik, mulai dari mendesain program hingga evaluasi program dan kegiatan pendidikan yang dilakukan secara terpadu. Disinilah dapat dipahami adanya pembagian tugas/tanggungjawab antara suami dan istri dalam rangka pelaksanaan pendidikan keluarga. Seorang bapak memenuhi tanggungjawab memastikan nafkah keluarga tersedia, sarana pendidikan keluarga terpenuhi, semua kebijakan pendidikan berjalan dan standar ketuntasan tercapai. Sedangkan seorang istri melaksanakan fungsi pendidikan yang sebenarnya yaitu transformasi substansi pendidikanyang menjadi isi kurikulum pendidikan keluarga. Fungsi ini tentu berkaitan erat dengan karakteristik seorang perempuan yang lembut, tegas, konsisten yang dalam teks suci (hadist) diandaikan dengan jannah (surgha untuk menyebut karakteristik pendidik seorang ibu).
Sedangkan masyarakat tidak hanya sekedar meneerima output pendidikan keluarga dan formal tetapi berkewajiban menciptakan suatu kondisi yang memungkinkan individu memperoleh apa yang belum diperoleh dari dua domain pendidikan sebelumnya, mengembangkan diri dan keahlian serta bersosialisasi dengan sistem nilai, tradisi yang menjadi identitas kulturalnya.
Persoalannya, apakah semua orang tua dan masyarakat dapat memenuhi peran yang besar dan berbeda ini. Dalam kontek ini tentu kesadaran para orang tua akan peran utama dan strategisnya akan menjadi fundamental. Sedangkan pihak-pihak lain seperti pemerintah, lembaga, organisasi dan semua piranti dapat mendeseminasikan kesadaran di atas sebagai pilihan yang emergent mengatasi berbagai kenyataan pahit sebagai dampak dari penyerahan harapan yang terlampau berlebihan pada lembaga pendidikan formal.
Pemerintah yang memegang amanah dalam mewujudkan pemenuhan hak mendapatkan pendidikan bagi semua warganegara sebagai tertulis dalam konstitusi bernegara memiliki tanggungjawab besar mewujudkan idealitas pendidikan ini dengan beberapa pilihan antara lain (1) penataan kembali peran dan fungsi pendidikan terutama pendidikan formal secara transparan untuk menghindari/membatasi hegemoni formalisme dan birokratisasi sekolah/PT, baik yang berkaitan dengan proses pelaksaanaan pendidikan maupun pengakuan (kesiapan, kelulusan, kemampuan dan keahlian yang tentu tidak boleh dibatasi secara rigid); (2) mendorong peran dan fungsi pendidikan keluarga yang lebih besar dengan berbagai program rintisan yang memfasilitasi keluarga dapat mengaktualkan peran dan fungsinya hingga penetapan peraturan dengan sanksi bagi keluarga yang tidak menjalankan pendidikan di lingkungan keluarga sekaligus penghargaan terhadap keluarga yang dapat efektif memenuhi peran dan fungsinya. Fasilitasi juga dapat dalam bentuk pendidikan dan pelatihan, dampingan, bantuan sumber/material pendidikan dan sebagainya. Dan (3) memfasilitasi semua organisasi, lembaga kemasyarakatan, sosial, politik, agama, pendidikan dan kepemudaan yang ada untuk terlibat dalam proses pendidikan sesuai proporsi dan peran yang menjadi pilihan masing-masing. Dalam konteks ini fasilitasi tidak dipahami sempit sebagai pemberian stimulasi bantuan dana tetapi lebih sebagai suatu bentuk kerjasama, kordinasi, sinkronisasi dan integrasi.
Selama ini fasilitasi dan kerjasama lebih memiliki pengertian bantuan pendanaan dan penguasaan organisasi, lembaga dan kelompok untuk mengikuti kemauan/kepentingan birokrasi. Tidak berjalan dalam suatu itikad yaang masing-masing telah mengambil pilihan peran sesuai proporsi masing-masing. Kondisi seperti ini tentu akan mengarah juga pada formalisme dan hegemoni masyarakat yang sebenarnya diam-diam mempertegas masyarakat tidak memiliki quasi aktif pada pencitraan generasi kedepan. Ini tentu saja tidak adil karena semua output pendidikan yang diakui pemerintah akan kembali kepada masyarakat dalam cita dan citra yang terserabut dari tatanan nilai dan sistem sosial yang kemudian menjelma menjadi kelompok elitis.
Fasilitasi tidak boleh bersifat hegemonik tetapi sebagai wujud kewajiban dan keharusan berbagi peran dalam mewujudkan cita dan citra pendidikan di masa depan. Karenanya fasilitasi akan terwujud dengan baik bila diikuti dengan pengakuan eksistensial peran dan fungsi yang menjadi pilihan organisasi dan lembaga yang ada di masyarakat tersebut. Ini pada akhirnya akan mendorong masing-masing akan berkordinasi untuk memungkinkan program, tujuan, arah dan kegiatan masing-masing menemu simpul. Perbedaan-perbedaan yang ada diselesaikan melalui proses sinkronisasi yang hasil-hasilnya kemudian diintegrasikan sebagai suatu pilihan stimulatif pelaksanaan pendidikan masyarakat.
Dalam kontek fasilitasi sebagai digambarkan di atas pemerintah akan memiliki kejelasan dasar, tujuan, arah dan program fasilitasi untuk penguatan peran dan fungsi pendidikan masyarakat. Kejelasan tersebut tentu memberikan kemudahan dalam menentukan pilihan pendekatan, cara dan evaluasi ketercapaian hasil sesuai dokumen kesepakatan dalam proses kordinasi, sinkronisasi dan integrasi yang dapat dijadikan dasar pengembangan maupun perubahan bila diperlukan.
0 komentar:
Posting Komentar
Mohon Tinggalkan Komentar