SEPERTI BIASA
Seperti biasa,
Tabir yang membuka warna
Selalu menyodorkan jingga ujung senja
Persis mantra dedaunan musim gugur mengusik kelana
Sudahlah, diri yang yatim jiwa musim yang berganti
Jangan lagi Kau paksa
Seperti biasa,
Makna lebih mengerti ihwal udara yang pengab
Hampa tirai kata telah cukup membuka sebab
Sebagai jendela pembuka tanya kerap kalap mengungsi dari dusta
Sudahlah, kuasa apa yang kuat halangi perlawanan
Menggodaku percuma
Seperti biasa,
Kerinduan yang sering menggoda kelembutan Musa pada gembala ternak tersesat
Darahnya wahyu bersahaja menyeruakkan cerca bukit Tursina
Kernanya sudahlah,
Biarkan diri terus menjamu sepi dalam do’a pembuka rahasia
Seperti biasa,
Cahya yang lekat hijau dedaunan
Angin yang mengacak-acak rerimbunan ilalang
Rona yang bertukar tangkap mengiris teremendum, dan
Mengharu biru pada ihtiar cinta sesama
Telah cukup lama menitip karma simpati pada yang bersahaja
Dan yang bertahan dari kemungkinan memilih-Nya
Biarkan diri mendatanginya bertakzim
Memilih memilikinya dengan cara yang paling muskil dan imajinal
Larut memuara pada pusaran makna,
Bercinta dengannya,
Seperti biasa,
Garis-garis di langit kemungkinan berpendar
Dari semangat Titanik yang membesuk ruang
Angkara Bulbonik selalu setia ulurkan jiwa
Sedang diri mulai ragu berdo’a
Seperti biasa,
Diripun kerap digoda rindu yang tidak biasa
Mataram, Agustus 2001
SAJAK SETELAH
Setelah jauh mengembara
Mengapa jenuh berkata-kata
Setelah sejuta getir onak mengepung
Mengapa bingung bertarung
Setelah usia berabad memuja
Mengapa pada-Nya sering tak betah bercinta
Setelah lama mengurung diri bermimpi
Mengapa abai memilih sepi
Setelah sombong bening idemu cagar palung
Mengapa memilih jejak semesta masih linglung
Setelah kobaran api kauterima
Mengapa sangsi percik lentiknya
Setelah risau-sesak-ngilu-dendam-darah-sesama berteriak memanggilmu rusuk
Mengapa abai membesuk
Setelah banyak korban bersimbah darah nyawa terbuang percuma api melalap hangus rumah-rumah ladang-ladang tandus ditinggalkan pemilik mengungsi anak-anak kecil menjerit kelaparan malaria busung lapar mengisap jiwa mereka
Mengapa masih mengirimkan bara
Setelah mendengar berita sesak mengapa masih bisa ngakak
Mataram, September 2000
SAJAK SEDANG
Sedang gemercik air bertasbih bisu di jemari bebatuan
Burung bernyanyi rindu rumah biru awan
Mengapa jiwa pada maknanya tak jua tertawan
Sedang laut mengisyaratkan cinta seluas samudera
Ombak karang badai menyimpan murka
Mengapa jiwa tak betah bertahan pada rahasia duka
Sedang bumi tidak dihamparkan begitu saja
Manusia dirancang-Nya mengelola semua
Mengapa sering berpaling dari kata-Nya
Sedang semua dicipta-Nya tidak sia-sia
Mengapa tak bersegera memilih-Nya
Kaliantan, September 2000
HARI INI
(Sajak Risau Seorang Guru)
Anak-anakku,
Hari ini aku tak lagi bisa mendiktekanmu struktur mimpi esok hari
Apalagi sekedar ngajar jampi
Biar kebal menginjak bara
Toh, pijakan halus pesona Ibrahim saja
tak lagi menjadi dupa pada saat kalian harus mencari cara
Aku sendiri bingung memilih mana yang tak luruh menjadi iri
Dalam rawa dan kabut gelap kalian memilih cepat-cepat pergi tikam nurani
Hari ini,
Seperti juga hari-hari biasa yang diguyur lesu
Sehabis belajar kalian bergerombol menunda waktu sambil mengisap jari, membisu
Sesekali pekik yang lengking nyaring menuding pelangi yang risau
Dari wajah memerah kalian yang terbakar matahari tak terlihat cita esok hari yang menyimpan merah jambu
Apa masih perlu ngajar kalian ihwal nyali yang mampu menguras isi hari
Tidak sekedar telaten menguras mimpi dengan sepenuh dengki
Kelak kalau sekolah kelar jadi pegawai negeri atau polisi
Aduuuuh,
Apa kurangnya aku sebagai guru
Aku jadi ingin merenggut jiwa kinasih Muhammad dari gumpalan awan ‘tuk mengajarimu inti hidup dan rindu
Sesudah hari ini banyak hal yang tidak tentu
Praya September 1999
0 komentar:
Posting Komentar
Mohon Tinggalkan Komentar