Menyaksikan gelondongan, tong yang bertebaran, korban yang terus jatuh hanya mengadu kenekatan, ancaman kerusakan lingkungan akankah pemerintah terus mengambil posisi mencari aman sendiri, berdiam diri. Menunggu dalam kasus ini sama saja dengan mengumumkan diri bisu dan tuli
(Murbaya, 26/08/11) Murbaya sebuah desa dengan kontur geografis turun naik yang kental dengan suasana agraris. Sebagian besar penduduk hidup dari pertanian karena ditunjang iklim dan hamparan luas areal pertanian yang subur. Tidak mengherankan mata pencaharian tambahan yang mereka pilih juga menunjang aktivitas bertani yaitu menjadi peternak sapi yang memiliki nilai ekonomis dan instrumental sekaligus. Secara kasatmata pemandangan sebagai kontur geografis yang agraris masih kental terlihat, tetapi jauh menukik ke dalam ’relung’ realitas terjadi perubahan yang cukup mengagetkan. Pertanian mulai dipandang sebagai pilihan hidup yang pasti mencekik. Setelah mengadu nasip ke negeri jiran Malysia, Saudi, Brunai tidak lagi menyisakan harapan yang lebih baik masyarakat mulai berbondong-bondong meraih peruntungan ke Sekotong Lombok Barat, Prabu dan Sumbawa menambang emas secara tradisional berbekal pengetahuan menambang yang terbatas dan kenekatan yang tidak berhitung resiko.
Saat ini kita menyaksikan pemandangan yang lain menghiasi kontur geografis agraris Desa Murbaya dengan berdirinnya gelondongan-gelondongan dan tong-tong baik yang berada di tengah-tengah pemukiman penduduk maupun di tengah-tengah areal persawahan dan pinggir kali. Semula pemandangan yang menyesakkan ini hanya kita saksikan di Desa Pringgarata tetapi sekarang sudah menjangkau ke Desa Murbaya. Hal ini tentu berkaitan dengan semakin banyaknya masyarakat yang memilih bekerja pada sektor ini sehingga kebutuhan mendirikan gelondongan dan tong meningkat untuk dapat mengolah dengan cepat hasil penambangan mereka. Fenomena ini juga berkaitan dengan mulai munculnya persaingan di antara para penambang dan pemasok modal yang tidak saja berasal dari masyarakat sekitar tetapi dari luar, baik yang ikut menambang, mengolah hasil maupun hanya sekedar investasi.
Pilihan ini kata Akram (salah seorang penambang amatiran) telah banyak bukti dapat meningkatkan ekonomi sekaligus korban nyawa sia-sia, seperti kasus teranyar empat orang penambang dari Kecamatan Pringgarata dan Jonggat menemukan ajal karena tertimbun tanah sewaktu menambang di Gunung Prabu. Meskipun demikian animo masyarakat tidak terusik sedikitpun. Sedemikian besarkah godaan emas dan rupiah sehingga dapat menutup mata batin dan pertimbangan rasio masyarakat kita. Atau memang masyarakat tidak memiliki pilihan lain. Ini tentu saja dapat dijawab dengan ya, tidak, ya ketidak-tidakan dan tidak keya-yaan. Menurut Haji Kadirun salah seorang tokoh masyarakat, ”pilihan menambang emas yang dipilih sebagian masyarakat menggambarkan bahwa masyarakat sudah mulai kalap dan putus asa mencari rezeki sehingga tidak lagi mempertimbangkan faktor-faktor nilai seperti keberkahan, kebersamaan dan lingkungan. Padahal pilihan kerja mereka semakin membuat mereka jauh dari agama, jauh dari jaminan keselamatan serta dapat berakibat fatal di masa-masa yang akan datang”.
Apa yang diungkap Haji Kadirun juga dipertegas Nely salah seorang aktivis pemberdayaan perempuan dan lingkungan pada Sentra Inkubasi Transformasi dan Advokasi Masyarakat (SIRAM) wilayah Lombok tengah; ”Pilihan menambang emas yang dikerjakan masyarakat hanya dapat menyelesaikan persoalan-persoalan ekonomi masyarakat untuk jangka pendek dan sesaat, tapi dampak sosial dan lingkungan yang timbul jauh lebih besar, kompleks dan cenderung tidak dapat diselesaikan dalam waktu yang pendek. Ini terutama berkaitan dengan moralitas, pola hidup dan kerusakan lingkungan yang tentu akan berakibat destruktif...kita setidaknya harus dapat belajar dari berbagai kasus penambangan seperti kasus Teluk Buyat, Minamata yang telah banyak menimbulkan korban dan tragedi kemanusiaan...apalagi dalam kasus kita di sini para penambang umumnya didasarkan oleh ketidaktahuan dan ketidakmautahuan tentang kemungkinan-kemungkinan tersebut yang penting bagaimana nafsu keserakahan mendapatkan emas dan rupiah semakin cepat terpenuhi”.
Melihat kondisi ini tentu saja pemerintah sebagai pengendali kebijakan dan regulasi harus mengambil bagian yang aktif tampa menunggu desakan dan kemarahan masyarakat yang merasa dirugikan membuncah. Sejauh ini mengenai respon pemerintah Abu Habib Hanna WaQila Direktur Pusat Kajian Sosial dan Lingkungan pada Yayasan P.KIP NTB yang sempat melakukan riset mengenai pengelolaan limbah penambangan emas tradisional di Lombok Tengah yang mengambil area sampling di Desa Murbaya mengungkapkan :”hampir semua para penambang tidak melakukan pengelolaan limbah penambangan, tetapi dengan membuangnya langsung ke kali, sungai dan selokan yang airnya dimanfaatkan langsung masyarakat sekitar untuk mandi, mencuci, buang air, mengairi sawah dan kolam ikan. Mereka juga memiliki pengetahuan yang sangat terbatas tentang dampak-dampak yang ditimbulkan, pengelolaan limbah yang bertanggungjawab...sementara pemerintah tidak terlihat kebijakan dan aksinya untuk mengatasi, mengatur masalah ini yang kalau tidak cepat diselesaikan akan menjadi persoalan yang kompleks”.
Mengatasi persoalan ini tentu saja semua pihak harus mengambil peran dan tanggungjawab, terutama pemerintah sebagai pemegang kebijakan, regulasi dan fasilitator. Pemerintah semestinya tidak berdiam diri, tidak membutakan dan mentulikan sense of action-nya dalam mengatasi persoalan ini. Demikian pula para aktivis yang biasanya mengambil posisi di depan dalam penyelesaian berbagai kasus harus mengambil posisi proaktif mendesakkan kebijakan dan regulasi. Terhadap masalah ini tentu saja kita tidak boleh berdiam diri hanya menunggu Tuhan menegur kebodohan dan kemasabodohan kita melalui bencana, kematian dan sesal di belakang hari. (Rid)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon Tinggalkan Komentar