Pendidikan
merupakan instrument dan mekanisme hidup yang terutama berperan dalam proses
penyiapan generasi muda untuk dapat menjalankan kehidupan dan memenuhi tujuan hidupnya secara lebih efectiv dan lebih efisien.
Penjelasan yang lebih komplek
menjelaskan arti pendidikan sebagai suatu pimpinan jasmani dan rohani menuju kesempurnaan dan
kelengkapan arti kemanusiaan dengan arti sesungguhnya (Natsir,1954). Karena itulah
kerja pendidikan focus pada usaha maksimal mengarahkan, mengembangkan dan
meningkatkan segenap potensi dan fungsi
hidup yang dimiliki individu untuk dapat menjalankan kehidupan dan mencapai tingkat-tingkat
tujuan hidupnya.
Dalam konteks ini
Dewantara (1967) membatasi kerja pendidikan
- mendidik sebagai daya upaya untuk memajukan budi pekerti
(kekuatan Bathin), pikiran dan jasmani individu selaras dengan alam dan
masyarakatnya.
Sebagai instrument dan mekanisme hidup pendidikan diharapkan dapat membentuk individu menjadi subjek yang transitif yang tidak sekedar dapat melangsungkan hidup semata tetapi mampu menangkap, menanggapi, masalah- masalah yang ada di sekitarnya dan mampu berdialog tidak hanya dengan sesame tetapi dengan dunia beserta isinya. Disini kerja mendidik harus dapat menumbuhkan dorongan dan situasi belajar yang continue teerpusat dalam diri individu yang dapat mengarahkannya menjadi transitif
Pendidikan lebih dari sekedar pengajaran. Dalam pendidikan penekanan diletakkan pada pembentukan kesadaran dan kepribadian disamping transfer ilmu dan keahlian. Sedangkan pengajaran tidak lebih dari sekedar proses alih ilmu dan keahlian dalam kerangka techno struktur yang ada. Menurut AZZRA (1999) penelusuran pemaknaan pendidikan yang tereduksi dalam arti pengajaran membuka teka-teki mengapa system pendidikan barat mengalami krisis yang akut, tak l;ain karena proses yang terjadi dalam pendidikannya hanya sekedar proses pengajaran.
Demikian pula yang terjadi dalam system pendidikan kita yang telah menemukan bentuknya yang purna dan Hegemonic. Pendidikan dalam pandangan yang umum adalah alokasi individu dalam system sekolah, dimana sekolah menjadi inisiasi ritual individu mencapai sukses dalam kehidupan. Bersama dengan proses reduksi makna pendidikan itu sendiri, sekolah justru berubah menjadi sangat ketat dalam hal birokrasi dan formalitas.
Dalam
Azra (1998) kenyataan ini turut memberikan andil bagi ketidak berhasilan
pendidikan dalam mencapai tujuannya, yakni mendewasakan individu baik
jasmani rohani atau terciptanya pribadi utuh yang dewasa dan cerdas baik
dalam pemikiran maupun tindakan.
Sebaliknya pendidikan akan berubah
fungsi menjadi tempat perburuan formalism yang berlebihan dan mendorong pelaku-pelaku pendidikan menjadi tidak jujur,
menipu dan menindas. Demikian pula subject didik akan cenderung mengalami perkembangan “keluar” dari harmoni
lingkungan dan dalam banyak kasus pendidikan
bagi mereka adalah pusat relokasi gengsi
yang kurang memiliki motivasi belajar.
Adalah menarik mengambil ibroh dari laporan majalah time yang mengungkap sindrom fobi sekolah yang menimpa limapuluhan ribu anak –anak jepang. Sindrom ini semacam gejala dan tingkah laku yang mencerminkan rasa takut terhadap sekolah, bahkan mengasingkan diri dari lingkungan social. Menurut para psikolog dan ahli pendidikan jepang sindrom ini disebabkan belenggu birokrasi dan formalitas sekolah yang rigid. Karenanya tidak menutup kemungkinan apa yang menimpa Negara Jepang tersebut akan menimpa kita bila reduksi pemaknaan pendidikan dan formalisme sekolah tidak menemukan permasalahannya akan berujung sama. Fobi sekolah atau pendidikan boleh jadi masih jauh dan sulit ditemukan dalam perjalanan praktik pendidikan kita. Tetapi masalah krusial lain yang muncul yaitu alienasi dan protes terhadap sekolah yang semakin mengkristal.
Alienasi sekolah dan pendidikan dapat di jelaskan dengan varian penyertanya yang imanen dimana sekolah dengan birokrasi dan formalitas yang rigid merupakan instrument utama mobilitas vertical masyarakat yang akan sendirinya membentuk kelas-kelas baru yang teralienasi dari masyarakatnya. Pada gilirannya sekolah dan pendidikan tidak akan membawa perubahan apa-apa hanya menjadi pendukung institusi privelese dan memperkuat struktur kelas atas yang sudah mapan. Hal yang paling mengiris adalah outputnya yang menjadi elitis, eksklusif, terserabut dari harmoni lingkungan dan masyarakat.
Sedangkan protes yang makin mengkristal sebagai imbangan lateral sekolah dan pendidikan dapat dibaca dari kegalauan praktik dan hasil pendidikan sekolah yang justru tidak dapat mengatasi masalah-masalah actual seperti tawuran antar pelajar yang makin meresahkan, narkoba dan prostitusi, tindak criminal dan sebagainya yang justru pelakunya adalah pelajar. Bersamaan dengan itu praktik pendidikan disekolah diam-diam dipenuhi praktik KKN, komersial dan dalam banyak kasus diskriminan sehingga muncul adagium,pendidikan mahal, orang miskin dilarang sekolah dan berbagai gejala lainnya yang mengiris. Akumulasi masalah dan gejala tersebut bias jadi bias dari proses reduksi makna dan praktik pendidikan yang mencapai kulminasi.
Ditengah maraknya protes terhadap pendidikan , sekolah makin menegaskan eksistensi dan berkembang ‘keluar’ mengambil bentuk yang bersebrangan dengan aspirasi. Bentuk dan pola terhadap pengembangan pendidikan (baca,sekolah) sub ordinat dan diri dari manipulasi dan eksploitasi individu, masyarakat dan alam. artikulatif terhadap berbagai kepentingan, mulai dari memenuhi kepentingan politik hingga kaum pemodal untuk meraup laba. Lihatlah betapa upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan yang ujung-ujungnya adalah komersialisme pendidikan yang menindas dan menjebak sekolah menjadi system dengan resiko biaya tinggi.Dalam rangka mengatasi persoalan-persoalan pendidikan terutama persoalan reduksionisme pendidikan menjadi sekolah dengan kompleks persoalannya diperlukan adanya kolectivisme membangun dan berbagi peran. Kolektivisme membangun ( termasuk menyelesaikan kompleks persoalan pendidikan) dan berbagai peran harus berangkat dari kesadaran dan pemahaman yang sama tentang pendidikan, persoalan-persoalan pendidikan, kebutuhan dan harapan yang diletakkan pada pendidikan dan pilihan penyelesaiannya. Dalam konteks inilah kita sebenarnya dihadapkan pada dua masalah mendasar yang paradox yaitu kebutuhan untuk konservasi dan redefinisi pendidikan.Konservasi pendidikan berarti menerima bentuk-bentuk pendidikan yang ada sebagai model yang mapan dan memadai menjadi pilihan untuk memobilisasi hak masyarakat terhadap pendidikan sembari melakukan pembenahan –pembenahan yang incremental. Hal ini didasarkan pada animo masyarakat yang terus meningkat terhadap pendidikan sekolah yang dapat dipandang sebagai bentuk commercial bagi pemenuhan aspirasi kesertaan masyarakat dalam pendidikan. Pemilihan ini tentu saja akan mengokohkan watak hegemoni, elitis, alienasi, birokrasi dan formalitas sekolah yang pada saat yang sama akan menjadi pengingkaran terhadap hak asasi manusia.Kalaupun sekarang masyarakat masih menaruh harapan yang tinggi terhadap sekolah, itu setidaknya disebabkan beberapa alas an: pertama, relative tidak ada pilihan yang dapat menjembatani kebutuhan masyarakat terhadap pendidikan dalam arti sesungguhnya yang memberikan lisensi formalism terhadap tingkat-tingkat pemilikan kompetensi dan kualifikasi, ijazah misalnya menjadi formalitas memasuki dunia kerja, pelatihan, pendidikan dan sebagainya. Kedua kemapanan sekolah sebagai system pendidikan didukung struktur kekuasaan dan patronasenya dengan system modal yang telah berkembang sangat jauh dan kuat. Sekolah telah menjadi saluran utama mobilisasi vertical, sedangkan masyarakat secara instinctive dan social sangat berkepentingan untuk mengalokasikan dirinya dalam system yang dapat memobilisirnya ke tingkat yang lebih tinggi. Ketiga tidak adanya system akreditasi pemrolehan moralitas, kualifikasi dan kompetensi baik yang diperoleh dilingkungan pendidikan keluarga maupun masyarakat di luar jalur-jalur formal yang memiliki kekuatan dan jaminan yang sama dengan sekolah untuk memasuki dunia kerja, pendidikan yang lebih tinggi atau dalam system-sistem lain yang berurusan dengan formalism. System keilmuan traditional seperti pengakuan ketuanguruan di masyarakat, misalnya tidak dapat menjadi prasyarat formal memegang jabatan politik mrnjadi, bupati, gubernur, atau wakil rakyat.Berdasarkan realitas praktik pendidikan tersebut sangat dibutuhkan suatu kesadaran revolusioner untuk mendefinisikan ulang pendidikan yang kita butuhkan sekarang dan kedepan. Hal ini didasarkan pada logika pendidikan harus selaras dengan diri, masyarakat dan lingkungan sehingga dapat berperan lebih manusiawi dalam memanusiakan individu. Kebutuhan redefinisi ini sebenarnya mengarah pada dua obyek utama , yaitu mengembalikan pendidikan pada bentuk primordial dan mengkreasikannya untuk lebih memiliki vitalitas dan kemungkinan kreatif menjelaskan kebutuhan individu akan makna pendidikan yang utuh dan synergies d3engan lingkungan masyarakat yang pada akhirnya dapat membuat individu menjadi transitif. Dengan demikian sekolah sebagai system pendidikan itu sendiri harus mencerminkan suatu bentuk hermeutika social yang dinamis.Tiga konteks obyek kritik terhadap sekolah diatas tentunya menjadi factor penting untuk mendapatkan penyelesaian fundamental dalam rangka mewujudkan suatu system pendidikan yang kaya pilihan, dimana masing-masing berkompetensi dalam satu arus yang sama yaitu kerjasama mewujudkan hak public untuk mendapatkan pendidikan. Dalam konteks ini pengakuan yang utama harus diletakkan pada kekuatan dan kemampuan yang nyata bukan pada formalitas misalnya ijazah. Dalam konteks ini sebagaimana yang diungkapkan Wen (2004) bahwa pendidikan haarus dimobilisasi untuk pengakuan kekuatan – kekuatan nyata bukan pengakuan diploma menjadi arah perubahan yang dasar. Tentunya disini dibutuhkan suatu system uji kemampuan baik moralitas, kompetensi dan kualifikasi yang dapat menjamin individu memasuki tingkat-tingkat dan system-sistem hidup tertentu misalnya kerja, dunia politik, birokrasi dan sebagainya yang bersifat terbuka. Disini sekolah menjadi salah satu alternative yang didedikasikan sebagai persiapan-persiapan semata bukan pengakuan yang membuatnya otoriter, hegemon, dan elitis.Selanjutnya pendidikan (sekolah) harus diletakkan pada posisi koeksestensial dengan system kekuasaan (politik) dan system ekonomi yang cenderung kapitalis. Hubu7ngannya tidak boleh direduksi dalam pola hubungan yang sub-ordinate dimana sekolah menjadi perpanjangan dan alat politik serta ekonomi tetapi menjadi polap atronase yang mutualistik. System polityik justru harus menjadi instrument mobilisasi pendidikan yang patuh pada cita etis pendidikan yang menjadi mandat system social yang lebih besar (masyarakat bangsa). Sedangkan system ekonomi berkeharusan bukan berkepentingan mendukung pendidikan sebagai imbalan yang wajar dari kemungkinan munculnya resiko social negative (dosa sistemik ekonomi) dari logika komersialisme, konsumerisme yang dianutnya. Karena bagaimanapun system ekonomi pada khirnya tidak dapat menghinmdarkan proritas laba dan imbalan.Dalam konteks redidfinisi pendidikan ini kira-kira bagaimana model sekolah sebagai pendidikan . apakah hal ini tidak terlalu euthopia—hal ini tergantung pada cara pandang dan kesadaran terhadap makna pendidikan. Bila pendidikan dipandang layaknya system hidup yang mengutamakan keseimbangan yang adil, memihak dan terbuka gagasan ini “terlampau sederhana” dan praktis. Gagasan ini hanya menuntuk Destrukturalisasi dan deformalisasi sekolah yang telah otoritative menjadi salah satu pilihan dalam mendapatkan kesempatan pendidikan, bukan pengakuan apalagi formalism rigid memasuki tingkat-tingkat tertentu dalam kehidupan yang sangat berkepentingan dengan mobilitas vertical yang mapan. Disatu sisi terdapat pengakuan nyata terhadap prestasi , kualifikasi, kompetensi dan moralitas yang sama dengan apa yang dihasilkan pendidikan dengan adanya satu system akrteditasi kompetensi , kualifikasi dan keahlian oleh lembaga yang otonom. Pendidikan sekolah dalam hal ini adalah salah satu pilihan yang juga tetap harus melalui proses akreditasi output melalui lembaga tersebut.
Disamping destrukturalisasi dan deformalisasi sekolah, pendidikan pada
tingkat sekolah hendaknya dikelola dalam system terbuka layaknya organism
kehidupan yang berkorelasisecara siklik
dengan keseluruhan komponen konstitutifnya secara integral. Dalam kontek ini
sekolah menurut Senge (1995) setidaknya
harus didasarkan pada. Pertama: kultur
yang membangun system pendidikan sekolah harus berdasarkan pada nilai-nilai
kemanusiaan yang bersifat
transcandental yaitu seperangkat nilai yang parrenial
seperti keadilan, cinta, kasih sayang, kejujuran, kebenaran ketulusan dan
sebagainya. Nilai-nilai ini harus menjadi elemen dasar prinsip pelaksanaan pendidikan yang
menentukan tata hubungan, pola tindak
maupun pilihan organisasional dalam
memecahkan masalah yang muncul dalam praktik pendidikannya. Keduanya adanya pedoman perangkat kerja
pendidikan baik dalam bentuk petunjuk
tehnis, petunjuk pelaksanaan yang member kesempatan yang terbuka secara
luas untuk terjadinya dialog dan koordinasi diantara semua subyek yang terlibat
didalamnya. Ketiga adanya kemampuan
personal pendidikan disekolah untuk melihat dan bekerja dalam satu arus yaitu
mekanisme kelola layaknya system hidup.
Dengan
demikian pilihan redefinisi sekolah dan pendidikan membutuhkan seperangkat
kesiapan , seperti kesiapan kultur, system dan personal yang menuntut adanya
proses transformasi yang terus
menerus.yang terpenting tentunya akumulasi komitmen , kesadaran, pemahaman
bersama, untuk mau melakukan perubahan yang fundamental dan besar pada
pendidikan yang menjadi sendi utama mekanisme membangun kehidupan yang
bermartabat, dinamis dan humanis.
0 komentar:
Posting Komentar
Mohon Tinggalkan Komentar