Rabu, 06 Agustus 2014

MENIMBANG SEKOLAH ANTARA KEBUTUHAN KONSERVASI DAN REDEVINISI PENDIDIKAN


Pendidikan merupakan instrument dan mekanisme hidup yang terutama berperan dalam proses penyiapan generasi muda untuk dapat menjalankan kehidupan dan memenuhi  tujuan hidupnya secara  lebih efectiv dan  lebih efisien. 

Penjelasan yang lebih komplek menjelaskan arti pendidikan sebagai suatu pimpinan jasmani  dan rohani menuju kesempurnaan dan kelengkapan arti kemanusiaan dengan arti sesungguhnya (Natsir,1954). Karena itulah kerja pendidikan focus pada usaha maksimal mengarahkan, mengembangkan dan meningkatkan segenap potensi dan fungsi  hidup yang dimiliki individu untuk dapat menjalankan  kehidupan dan mencapai tingkat-tingkat tujuan  hidupnya. 

Dalam konteks ini Dewantara (1967) membatasi kerja pendidikan  - mendidik sebagai daya upaya untuk memajukan   budi pekerti  (kekuatan Bathin), pikiran dan jasmani individu selaras dengan alam dan masyarakatnya.


Sebagai instrument dan mekanisme hidup pendidikan diharapkan dapat membentuk individu menjadi subjek yang transitif yang tidak sekedar dapat melangsungkan hidup semata tetapi mampu  menangkap, menanggapi, masalah- masalah yang ada di sekitarnya dan mampu berdialog tidak hanya dengan sesame tetapi dengan dunia beserta isinya. Disini kerja mendidik harus  dapat menumbuhkan dorongan dan situasi belajar yang continue teerpusat  dalam  diri individu yang dapat mengarahkannya menjadi transitif

Pendidikan  lebih dari sekedar  pengajaran. Dalam pendidikan penekanan  diletakkan pada pembentukan kesadaran  dan kepribadian  disamping transfer ilmu dan keahlian. Sedangkan pengajaran tidak lebih dari sekedar proses alih ilmu dan keahlian  dalam kerangka techno struktur   yang ada. Menurut AZZRA (1999) penelusuran pemaknaan  pendidikan yang tereduksi dalam arti pengajaran membuka  teka-teki mengapa  system pendidikan barat mengalami krisis yang akut, tak l;ain karena proses  yang terjadi dalam pendidikannya hanya sekedar proses pengajaran.

Demikian pula yang terjadi dalam system pendidikan kita yang telah menemukan bentuknya yang purna dan Hegemonic. Pendidikan dalam pandangan yang umum adalah  alokasi individu dalam system sekolah, dimana sekolah  menjadi inisiasi ritual individu  mencapai sukses dalam  kehidupan. Bersama dengan proses reduksi  makna pendidikan itu sendiri, sekolah justru  berubah menjadi sangat ketat dalam hal birokrasi dan formalitas.
Dalam Azra (1998) kenyataan ini turut memberikan andil bagi ketidak berhasilan pendidikan dalam mencapai tujuannya, yakni mendewasakan individu baik jasmani  rohani atau terciptanya   pribadi utuh yang dewasa dan cerdas baik dalam pemikiran  maupun tindakan. Sebaliknya pendidikan akan berubah  fungsi menjadi tempat perburuan formalism yang berlebihan dan mendorong  pelaku-pelaku pendidikan menjadi tidak jujur, menipu dan menindas. Demikian pula subject didik akan cenderung  mengalami perkembangan “keluar” dari harmoni lingkungan dan dalam banyak kasus pendidikan  bagi mereka adalah pusat relokasi gengsi yang kurang memiliki motivasi belajar.

Adalah menarik mengambil ibroh dari laporan majalah time yang mengungkap sindrom fobi sekolah yang menimpa limapuluhan ribu anak –anak jepang. Sindrom ini semacam gejala dan tingkah laku yang mencerminkan rasa takut terhadap sekolah, bahkan mengasingkan diri dari lingkungan social. Menurut para psikolog dan ahli pendidikan jepang sindrom ini disebabkan belenggu birokrasi dan formalitas sekolah yang rigid. Karenanya tidak menutup kemungkinan apa yang menimpa Negara Jepang  tersebut akan menimpa kita bila reduksi pemaknaan pendidikan  dan formalisme sekolah tidak menemukan permasalahannya akan berujung sama. Fobi sekolah atau pendidikan boleh jadi masih jauh dan sulit ditemukan  dalam perjalanan praktik pendidikan kita. Tetapi masalah krusial lain yang muncul yaitu alienasi dan protes terhadap sekolah yang semakin mengkristal.

Alienasi sekolah dan pendidikan dapat di jelaskan dengan varian  penyertanya yang imanen dimana sekolah dengan birokrasi  dan formalitas yang rigid merupakan instrument utama  mobilitas vertical masyarakat yang akan sendirinya membentuk kelas-kelas baru yang teralienasi dari masyarakatnya. Pada gilirannya sekolah dan pendidikan tidak akan membawa perubahan apa-apa hanya  menjadi pendukung institusi privelese dan memperkuat struktur kelas atas yang sudah mapan. Hal yang paling mengiris adalah outputnya  yang menjadi elitis, eksklusif, terserabut dari  harmoni lingkungan dan masyarakat.

Sedangkan protes yang makin mengkristal sebagai imbangan lateral sekolah dan pendidikan dapat dibaca dari kegalauan praktik dan hasil pendidikan  sekolah yang justru tidak dapat mengatasi  masalah-masalah actual  seperti tawuran antar pelajar yang makin meresahkan, narkoba dan prostitusi, tindak criminal dan sebagainya yang justru pelakunya adalah pelajar. Bersamaan dengan itu praktik pendidikan disekolah diam-diam  dipenuhi praktik KKN, komersial dan dalam banyak kasus diskriminan sehingga muncul adagium,pendidikan mahal, orang miskin dilarang sekolah dan berbagai gejala lainnya yang mengiris. Akumulasi  masalah dan gejala tersebut  bias jadi bias dari proses reduksi   makna dan praktik pendidikan yang mencapai kulminasi.

Ditengah maraknya protes terhadap pendidikan , sekolah makin menegaskan eksistensi dan berkembang ‘keluar’ mengambil bentuk yang bersebrangan dengan aspirasi. Bentuk dan pola terhadap  pengembangan  pendidikan (baca,sekolah) sub ordinat dan diri dari manipulasi dan eksploitasi individu, masyarakat dan alam. artikulatif terhadap berbagai kepentingan, mulai dari memenuhi kepentingan politik  hingga kaum pemodal untuk meraup laba. Lihatlah betapa upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan yang ujung-ujungnya adalah komersialisme pendidikan yang menindas dan menjebak sekolah menjadi system dengan resiko biaya tinggi.
Dalam rangka mengatasi persoalan-persoalan pendidikan terutama persoalan reduksionisme pendidikan menjadi sekolah dengan  kompleks persoalannya diperlukan adanya kolectivisme membangun dan berbagi peran.  Kolektivisme membangun ( termasuk menyelesaikan kompleks persoalan pendidikan) dan berbagai  peran harus berangkat dari kesadaran dan pemahaman yang sama tentang pendidikan, persoalan-persoalan pendidikan, kebutuhan dan harapan yang diletakkan pada pendidikan dan pilihan penyelesaiannya. Dalam konteks inilah kita sebenarnya dihadapkan pada dua masalah mendasar yang paradox yaitu kebutuhan untuk konservasi dan redefinisi pendidikan.
Konservasi pendidikan berarti menerima bentuk-bentuk pendidikan yang ada sebagai model yang mapan dan memadai  menjadi pilihan untuk memobilisasi hak masyarakat terhadap pendidikan sembari melakukan pembenahan –pembenahan yang incremental. Hal ini didasarkan pada animo masyarakat yang terus meningkat terhadap pendidikan sekolah yang dapat dipandang sebagai bentuk commercial bagi pemenuhan  aspirasi  kesertaan masyarakat dalam pendidikan. Pemilihan ini tentu saja akan mengokohkan  watak hegemoni, elitis, alienasi, birokrasi dan formalitas sekolah  yang pada saat yang sama akan menjadi pengingkaran terhadap hak asasi manusia.
Kalaupun sekarang masyarakat masih menaruh harapan yang tinggi terhadap sekolah, itu setidaknya disebabkan  beberapa alas an: pertama, relative tidak ada pilihan yang dapat menjembatani  kebutuhan masyarakat terhadap pendidikan dalam arti sesungguhnya yang memberikan lisensi formalism terhadap tingkat-tingkat pemilikan kompetensi dan kualifikasi, ijazah misalnya  menjadi formalitas memasuki dunia kerja, pelatihan, pendidikan dan sebagainya. Kedua kemapanan sekolah sebagai system pendidikan didukung struktur  kekuasaan dan patronasenya dengan system modal yang telah berkembang sangat jauh dan kuat. Sekolah telah menjadi  saluran utama mobilisasi vertical, sedangkan masyarakat secara instinctive dan social sangat berkepentingan  untuk mengalokasikan dirinya dalam system yang dapat memobilisirnya ke tingkat yang lebih tinggi. Ketiga tidak adanya system akreditasi  pemrolehan moralitas, kualifikasi dan kompetensi baik yang diperoleh dilingkungan  pendidikan keluarga maupun masyarakat di luar jalur-jalur formal yang memiliki kekuatan dan jaminan yang sama dengan sekolah untuk memasuki dunia kerja, pendidikan yang lebih tinggi  atau dalam system-sistem  lain yang berurusan dengan formalism. System keilmuan traditional seperti pengakuan ketuanguruan di masyarakat, misalnya tidak dapat menjadi prasyarat formal memegang jabatan politik mrnjadi, bupati, gubernur, atau wakil rakyat.
Berdasarkan realitas praktik pendidikan tersebut sangat dibutuhkan suatu kesadaran  revolusioner  untuk mendefinisikan ulang pendidikan yang kita butuhkan sekarang dan kedepan. Hal ini didasarkan pada logika pendidikan harus selaras dengan diri, masyarakat dan lingkungan sehingga dapat berperan lebih manusiawi  dalam memanusiakan individu. Kebutuhan redefinisi ini sebenarnya mengarah pada dua obyek utama , yaitu mengembalikan pendidikan pada bentuk primordial  dan mengkreasikannya untuk lebih memiliki vitalitas dan kemungkinan kreatif  menjelaskan kebutuhan individu akan makna pendidikan yang utuh  dan synergies d3engan lingkungan masyarakat yang pada akhirnya dapat membuat individu menjadi  transitif. Dengan demikian sekolah sebagai system pendidikan itu sendiri harus mencerminkan suatu bentuk hermeutika  social yang dinamis.
Tiga konteks obyek kritik terhadap sekolah diatas tentunya menjadi factor penting untuk mendapatkan  penyelesaian fundamental dalam rangka mewujudkan suatu system pendidikan yang kaya pilihan, dimana masing-masing berkompetensi  dalam satu arus yang sama yaitu kerjasama mewujudkan  hak public untuk mendapatkan pendidikan. Dalam konteks ini pengakuan yang  utama harus diletakkan pada kekuatan dan kemampuan yang nyata  bukan pada formalitas misalnya ijazah. Dalam konteks ini sebagaimana yang diungkapkan Wen (2004) bahwa pendidikan haarus dimobilisasi untuk pengakuan  kekuatan – kekuatan  nyata bukan pengakuan diploma menjadi arah perubahan yang dasar. Tentunya disini dibutuhkan suatu system uji kemampuan  baik moralitas, kompetensi  dan kualifikasi yang dapat menjamin individu  memasuki  tingkat-tingkat dan system-sistem  hidup tertentu misalnya kerja, dunia politik, birokrasi dan sebagainya yang bersifat  terbuka. Disini sekolah menjadi salah satu alternative yang didedikasikan sebagai persiapan-persiapan semata bukan pengakuan yang membuatnya otoriter, hegemon, dan elitis.
Selanjutnya pendidikan (sekolah) harus diletakkan pada posisi koeksestensial dengan system kekuasaan (politik) dan system ekonomi yang cenderung kapitalis. Hubu7ngannya tidak boleh direduksi  dalam pola hubungan yang sub-ordinate dimana sekolah menjadi perpanjangan dan alat politik serta ekonomi tetapi menjadi polap atronase yang mutualistik. System polityik justru harus menjadi  instrument mobilisasi  pendidikan yang patuh pada cita etis pendidikan yang menjadi mandat system social yang  lebih besar (masyarakat bangsa). Sedangkan system ekonomi berkeharusan bukan berkepentingan  mendukung pendidikan sebagai imbalan yang wajar  dari kemungkinan munculnya resiko social negative (dosa sistemik ekonomi) dari logika komersialisme, konsumerisme  yang dianutnya. Karena bagaimanapun system ekonomi pada khirnya  tidak dapat menghinmdarkan proritas laba dan imbalan.
Dalam konteks redidfinisi pendidikan  ini kira-kira bagaimana model sekolah sebagai pendidikan . apakah hal ini tidak terlalu euthopia—hal ini tergantung pada cara pandang dan kesadaran terhadap makna pendidikan. Bila pendidikan dipandang layaknya system hidup yang mengutamakan keseimbangan  yang adil, memihak dan terbuka gagasan ini “terlampau sederhana” dan praktis. Gagasan ini hanya menuntuk Destrukturalisasi  dan deformalisasi  sekolah yang telah otoritative menjadi salah satu pilihan dalam mendapatkan  kesempatan pendidikan, bukan pengakuan apalagi formalism rigid memasuki tingkat-tingkat tertentu dalam kehidupan yang sangat berkepentingan dengan mobilitas vertical  yang mapan. Disatu sisi  terdapat pengakuan nyata terhadap prestasi , kualifikasi, kompetensi dan moralitas yang sama dengan apa yang dihasilkan pendidikan dengan adanya satu system  akrteditasi kompetensi , kualifikasi dan keahlian oleh lembaga yang otonom. Pendidikan sekolah dalam hal ini adalah salah satu pilihan yang juga tetap harus melalui proses akreditasi output melalui lembaga tersebut.
Disamping destrukturalisasi  dan deformalisasi sekolah, pendidikan pada tingkat sekolah hendaknya dikelola dalam system terbuka layaknya organism kehidupan  yang berkorelasisecara siklik dengan keseluruhan komponen konstitutifnya secara integral. Dalam kontek ini sekolah menurut Senge (1995)  setidaknya harus didasarkan pada.  Pertama: kultur yang membangun system pendidikan sekolah harus berdasarkan pada nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat  transcandental    yaitu seperangkat nilai yang parrenial seperti keadilan, cinta, kasih sayang, kejujuran, kebenaran ketulusan dan sebagainya. Nilai-nilai ini harus menjadi elemen dasar  prinsip pelaksanaan pendidikan yang menentukan tata hubungan,  pola tindak maupun pilihan  organisasional dalam memecahkan masalah yang muncul dalam praktik pendidikannya.  Keduanya adanya pedoman perangkat kerja pendidikan baik dalam bentuk petunjuk  tehnis, petunjuk pelaksanaan yang member kesempatan yang terbuka secara luas untuk terjadinya dialog dan koordinasi diantara semua subyek yang terlibat didalamnya. Ketiga  adanya kemampuan personal pendidikan disekolah untuk melihat dan bekerja dalam satu arus yaitu mekanisme kelola layaknya system hidup.
Dengan demikian pilihan redefinisi sekolah dan pendidikan membutuhkan seperangkat kesiapan , seperti kesiapan kultur, system dan personal yang menuntut adanya proses transformasi  yang terus menerus.yang terpenting tentunya akumulasi komitmen , kesadaran, pemahaman bersama, untuk mau melakukan perubahan yang fundamental dan besar pada pendidikan yang menjadi sendi utama mekanisme membangun kehidupan yang bermartabat, dinamis dan humanis.

0 komentar:

Posting Komentar

Mohon Tinggalkan Komentar

SUPPORTING SITES

 

Popular Posts

Popular Posts this month

Popular Posts this week